Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Edukasi Politik Generasi Milenial Lewat Media Digital

Edukasi Politik Generasi Milenial Lewat Media Digital

Oleh Admin 



  


 

Tidak bisa dibantah bahwa kelekatan generasi milenial terhadap media teknologi digital sangat tinggi. Kelekatan ini bahkan dilihat sebagai identitas generasi milenial. Hal ini menegaskan pula bahwa partisipasi generasi milenial dalam dunia politik sudah memiliki cara yang berbeda.

Jika pada masa awal reformasi, para pemuda Indonesia cenderung berpartisipasi melalui demonstrasi atau turun ke jalan. Pada masa kini, metodologi partisipasi  politik generasi milenial serba canggih yakni melalui media digital. Hal ini tentu saja selaras dengan globalisasi yang juga menjalar hingga ke nalar generasi milenial Indonesia.

Perkembangan dunia teknologi turut serta memengaruhi cara berpikir dan berekspresi bagi generasi milenial Indonesia dalam dunia politik. Mereka berpartisipasi bukan secara massal dan dalam jangka waktu panjang, melainkan secara spontan-individu. Hal ini tentu sangat relevan dengan kondisi kekinian tatkala Indonesia dilanda bahaya Covid-19.

Kehadiran generasi ini dalam dunia politik Indonesia cukup diperhitungkan. Data dari Komisi Pemilihan Umum, jumlah pemilih milenial mencapai 70 juta-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih[1] – tentu pada tahun 2021 ini jumlahnya terus berkembang. Pada Pemilihan Umum 2019 lalu, generasi milenial menyumbang suara yang cukup significant. Itu berarti, partisipasi politik generasi milenial sangat substansial. Dengan demikian, tanggung jawab politik dewasa ini juga berada dalam genggaman generasi milenial. Mereka bukan hanya bertanggung jawab di tempat pemungutan suara melainkan juga memiliki peran kontrol yang terus berlanjut.

Menimbang bahwa identitas generasi milenial masa kini erat berkaitan dengan media digital, maka tidak salah jika mereka memanfaatkan media-media tersebut untuk memberikan edukasi politik kepada publik. Edukasi tersebut bisa berjalan baik jika hal pertama yang mesti ada dalam diri generasi milenial yaitu kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap politik. Mesti juga ada kesadaran bahwa kelekatan mereka dengan media digital bisa membawa manfaat bagi banyak orang. Tanpa kesadaran semacam itu, upaya untuk mengedukasi publik akan berjalan lamban.

Embrio kesadaran tersebut mesti selalu dipupuk oleh wawasan mereka tentang politik. Generasi milenial yang berwawasan luas dalam konteks politik akan lebih gampang memberi edukasi yang terukur dan terarah. Jika tidak, proses edukasi tidak lain akan mengarah kepada provokasi atau orang buta menuntun orang buta. Bukan edukasi kritis-positif melainkan penyebaran hoaks. 

Nurudin dalam bukunya Media Sosial Agama Baru Masyarakat Milenial (2018)[2], menegaskan, penyebaran hoaks sudah menjadi target politik. Bukan soal benar-salah penyebaran hoaks tetapi yang terpenting ialah tujuan bisa tercapai. Artinya, hoaks dilihat sebagai senjata untuk memojokkan musuh politik tertentu. Orang menyebar hoaks untuk memfitnah, memprovokasi dan melumpuhkan kinerja pesaing politiknya. Ini adalah salah satu alasan hoaks terus meraja lela khususnya pascaPemilu 2014 silam. Tugas generasi milenial adalah meminimalisasi kesuburan hoaks ini agar tidak terlalu lama menjangkiti nalar dan emosi publik. Generasi milenial mestinya mendidik publik agar menjadi kritis memanfaatkan media sosial khususnya dalam menanggapi situasi politik terkini.

Efek negatif lanjutan dari hoaks akan memproduksi jenis hoaks-hoaks baru. Dengan demikian peradaban politik kita akan menurun sebab publik yang diedukasi menjadi korban penipuan atau penyembah hoaks yang diwartakan oleh generasi milenial yang miskin wawasan politisnya. Untuk membendung hal ini, generasi milenial mesti rajin mencari tahu referensi-referensi valid tentang politik. Bisa dengan cara rajin membaca literatur-literatur yang relevan, mengikuti webinar tentang edukasi politik dan mampu membedah sumber-sumber valid dan invalid.

Tindakan lanjut dari proses-proses tersebut, bisa diproduksi secara kreatif dalam rangka edukasi politik. Misalnya, generasi milenial menulis artikel edukatif pada dinding fecebook sambil berdialektika online secara terukur dengan para facebooker yang menanggapi. Bisa juga, generasi milenial menciptakan blog atau website pribadi yang mampu mendorong dirinya untuk terus produktif dalam mengedukasi publik. Sebab media-media elektronik-digital telah menyediakan berbagaimacam bentuk fasilitas atau aplikasi yang memudahkan generasi milenial untuk mengembangkan potensi dirinya.

Generasi milenial bisa memberikan kritikan terhadap praktik korupsi dana bantuan Sosial yang diciptakan oleh para elit rakus di masa pandemi Covid-19. Kritikkan-kritikkan yang dielaborasi dalam bentuk artikel diharapkan memberi kesadaran bagi publik baik yang berstatus sebagai pemegang kekuasaan (para politisi, praktisi hukum, polisi dan lain-lain) maupun bagi masyarakat sosial. Tentu kritikkan yang dibangun tetap berbasis edukatif bukan provokatif; mesti ada pesan-pesan moral yang mampu membentuk kesadaran bersama bahwa keadilan sosial mesti merata bagi semua elemen.

Di tengah gempuran Covid-19, banyak isu miring berseliweran melalui berbagai media massa, media sosial, dan sebagainya. Tepat disini, generasi milenial memanfaatkan kesempatan untuk memberikan edukasi yang seimbang. Intinya ialah, data valid dan argumentasi edukatif yang dibangun mesti bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, setiap generasi Y (generasi milenial) mesti mampu mengenal dirinya sebagai ujung tombak perubahan. Kesadaran personal masing-masing generasi Y mesti selanjutnya ditransfer menjadi kesadaran kolektif mereka sebagai satu kelompok generasi yang potensial.

Artinya, mereka mesti memiliki keprihatinan bersama tentang kondisi politik terkini sehingga aspirasi-edukatif yang dibangun memiliki basis yang kuat. Obyek pembahasan mereka bukan hanya tentang politik berskala nasional melainkan juga regional-lokal. Bukan hanya soal politik praktis melainkan juga soal kesenjangan ekonomi, solusi Covid-19 di Nusa Tenggara Timur, kritik seimbang soal pro kontra vaksin dan masalah-masalah sosial lainnya seperti nasib orang-orang Besipae di TTS, Proyek mangkrak di Awololong Lembata dll. 

Jika setiap generasi Y memiliki keprihatinan kolektif semacam ini, niscaya media elektronik digital memiliki manfaat maksimal bukan sekadar untuk selfie dan tik-tok.

 

Kesimpulan

Patut diakui bersama bahwa harta benda politik bukan milik pribadi para politisi atau pemegang tampuk kekuasaan. Sebab sejak permulaan di tanah Yunani, politik sudah dikenal sebagai usaha untuk mencapai bonum commune. Dengan demikian, politik menjadi tanggung jawab bersama baik itu politisi, kaum tua maupun kaum muda yang dalam esai ini merujuk pada generasi milenial. 

Setiap kelompok generasi memiliki tanggung jawab moral untuk mengontrol lajunya roda politik di Indonesia melalui metodologi yang kreatif sesuai tuntutan zaman. Generasi milenial sebagai ujung tombak perubahan memiliki peran kompleks dalam mengatur rumah tangga Indonesia di bidang politik. Melalui media digital, generasi milenial secara kritis, berani dan bebas berekspresi secara positif demi kelangsungan politik yang bermartabat. 

Generasi milenial tidak hanya kreatif menampilkan dirinya di dunia maya misalnya edit-edit foto, tik-tok dan sebagainya melainkan mereka diharapkan lebih produktif-kreatif untuk kebaikan umum yang lebih kompleks. Salah satunya yaitu, mengkoneksikan wawasan politiknya melalui media digital demi membangun kesadaran publik tentang jati diri dari politik.

Selain berekspresi dalam bentuk tulisan, generasi milenial juga bisa memberi edukasi dalam bentuk yang lain. Misalnya film pendek melalui youtube, membagikan konten-konten media yang edukatif dan bentuk-bentuk kreatif lainnya. Intinya tetap pada koridor edukasi politik melalui media digital. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kehadiran generasi milenial di tengah kaya rayanya bentuk media digital turut memberi ruang bagi pendidikan politik di tanah air. Mereka hadir sebagai promotor yang bergerak secara online demi membuka wawasan publik tentang strategi membangun kebaikan bersama; mereka membuka wawasan dan menyumbang ide-ide kreatif dan produktif.

 

 

 

 



[2] Nurudin, Media Sosial Agama Baru Masyarakat Milenial (Malang: Instans Publishing, 2018), 12.