Tolak Karakter Orang Farisi dalam Membangun Lembata
Tolak Karakter Orang Farisi dalam Membangun Lembata
Catatan
tentang Diskusi Daring Bersama Front Mata Mera
B |
agi
orang Katolik, menyebut nama orang Farisi tentu tak asing lagi. Sebab dalam
Injil, orang Farisi selalu hadir sebagai tokoh antagonis di hadapan Yesus dan
para Murid-Nya. Salah satu karakter kaku
orang farisi yakni “taat buta” terhadap aturan. Ketaatan tanpa pertimbangan
hati nurani ini kemudian menjadikan orang Farisi menyingkirkan substansi dari
sebuah aturan.
Makanya, tak heran orang yang lapar pada hari sabat tetap dilarang untuk memetik anggur atau ketika Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari sabat – tidak sesuai aturan – orang Farisi mengkritisi Yesus habis-habisan. Itu tentang orang Farisi 2000-an tahun lalu di Timor Tengah. Secara lebih kompleks dan kontekstual dalam ranah politik lokal di daerah-daerah, tak jarang kita menemukan karakter orang Farisi menyusup dalam proses pembangunan sebuah daerah.
Namun,
sebelum mengarah kesana, perlu saya informasikan bahwa tulisan sangat sederhana
ini saya lahirkan bertolak dari keresahan saya pascamengikuti diskusi daring
yang diinisiasi oleh Front Mata Mera, sebuah organisasi progresif mahasiswa Lembata
yang bermarkas di Makassar (Minggu/21/2). Diskusi tersebut berpedoman pada
pokok pembahasan tentang “Kenaikan Honorarium Bupati Lembata dan Retribusi
Pelabuhan, Apa Sebabnya?”
Selain
itu, dalam iklim demokrasi, setiap warga negara berhak mengritisi para
pengambil kebijakan publik secara kreatif dengan tetap memerhatikan validitas
data, substansi dan mampu bertanggungjawab. Bertolak pada alasan ini, saya
berusaha menguraikan keresahan ini melalui artikel yang barangkali masih labil.
Tolak Politik Orang
Farisi di Lembata
Dari
diskusi tersebut, saya berusaha merekam penjelasan kritis, rasional-normatif
yang disampaikan oleh Piter Bala Wukak selaku wakil rakyat dan juga sekretaris Partai
Golkar Lembata. Pokok dari penjelasan mantan “aktivis” – atau masih jadi
aktivis? – ini menurut saya selalu berkiblat pada aturan. Misalnya tentang
retribusi, ia menjelaskan bahwa Perda tersebut sudah disahkan, maka sesuai
aturan itu legal.
Pertanyaannya,
apakah aturan tersebut memiliki substansi pada kepentingan masyarakat? Atau aturan
itu dibuat secara egosentris oleh kalangan atas (legislatif dan eksekutif) dan
kemudian menyusun nalar kritis untuk membela aturan? Padahal, sesungguhnya,
setiap kebijakan atau aturan yang dibuat mesti bertolak dari kehendak dan berakibat
pada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Ini mesti super serius dan
hati-hati dipertimbangkan.
Menurut
saya, legislatif maupun eksekutif belum masuk dan mengalami apa yang menjadi suara inti dari
masyarakat, makanya saat retribusi ini disahkan menjadi Peraturan Daerah,
terlihat aksi protes bak gelombang laut sawu menghantam bebatuan keras. Mereka (baca
legislatif dan eksekutif) sepertinya meneropong dari puncak tower kekuasaan dan
kemudian seenaknya mensahkan Perda – barangkali tanpa pertimbangan hati nurani –
dan tanpa membaca realitas yang dialami oleh orang kecil yang mestinya
berdaulat.
Walaupun
dalam penjelasan itu, ia mengatakan, para pengambil kebijakan sudah melakukan
sosialisasi publik terdampak. Namun, menurut saya ini alasan rasionalisasi. Pendapat
saya ini memiliki tiang penopang yang kokoh setelah mendengar penjelasan dari
Bapak Hendrikus Buran, Ketua Koperasi Serikat Pekerja Tenaga Kerja Bongkar Muat
(TKBM) Pelabuhan Laut Lewoleba yang sangat kontradiktif dengan isi penjelasan
dari Piter Bala Wukak yang hadir sebagai wakil rakyat – bukan wakil aturan, kan?
Hendrikus
Buran menyampaikan isi hati terdalam dan tentu saja rasa kecewa dari para
pekerja lainnya di pelabuhan yang adalah masyarakat kecil yang mestinya
dilayani total oleh para pengambil kebijakan. Kesimpulannya ialah, Perda yang
telah disahkan tidak berbasis pada kepentingan masyarakat tetapi hanya untuk
memenuhi libido kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Jika diskusi dengan publik terdampak sudah maksimal tentu tidak ada gelombang protes terhadap Perda yang sangat egosentris atau berbasis pada kemauan para elit tersebut. Dengan demikian, saya menilai karakter politik a la orang Farisi 2000-an tahun lalu sudah tertanam dan berbuah ranum di Peten Ina. Substansinya tidak jelas. Aturan sangat nampak dibuat sesuai keinginan elit. Jika ada substansi yang berbasis pada masyarakat tentu mereka tidak memprotesnya.
Ada
kontradiksi, pelabuhan Lewoleba rusak dan disoroti publik tidak pernah
diperhatikan serius tapi soal retribusi, wakil rakyat maupun legislatif terlihat menyembah pada aturan yang telah disahkan menjadi Perda. Sekali lagi karakter politik orang farisi mestinya ditanggalkan
dalam proses membangun Lembata. Orang Farisi membela aturan tanpa
mempertimbangkan isi hati orang lain, entah dia lapar atau sakit, itu tidak
penting. Intinya sesuai aturan. Ini karakter yang menurut saya sudah merasuki
dua lembaga besar di Lembata.
Selain
itu, dalam catatan kritisnya, Piter Bala Wukak menyampaikan bahwa Front Mata
Mera mesti memberi advokasi sebelum Perda ditetapkan. Ini menurut saya sangat terang
benderang rasionalisasi. Bagaimana mungkin organisasi independen seperti ini
mengadvokasi kalau cara kerja lembaga DPRD sebelum menetapkan Perda tidak
transparan? Mestinya, selain diskusi dengan publik terdampak – menurut saya
barangkali atau patut dicurigai diskusi publik tidak berjalan – pihak wakil
rakyat mesti juga membuka aturan itu kepada publik Lembata yang lebih luas. Salah
satunya kepada Front Mata Mera. Jadi menurut saya, argumentasi tersebut
rasionalisasi.
Menimbang Honorarium Bupati
Di tengah situasi pandemi Covid-19, warga Lembata dihebohkan lagi dengan wacana besarnya honorarium bupati yakni 408 juta per bulan. Belum lagi, ribuan ternak babi mati, bencana gunung meletus, infrastruktur berlubang dimana-mana dan tentu masih sangat banyak masalah lain di Lembata.
Wacana
ini kemudian diprotes keras oleh publik kritis. Pada akhirnya, ada inisiatif
oleh Pemda untuk bekerja sama dengan tim dari UGM – mengapa bukan dari Undana
Kupang yang lebih tahu tentang Lembata? – untuk menganalisis APBD 2021. Jika tidak ada protes tentu saja, aturan itu sudah berjalan, bukan?
Inisiatif
ini menurut sekretaris Golkar, Piter Bala Wukak, patut didukung karena sangat
rasional dan obyektif. Ya, sekali lagi ini hanya berkiblat pada aturan bukan
pada keresahan masyarakat. Ongkos untuk analisis dimaksud juga tidak kecil
yakni sebesar 500 juta. Uang sebesar itu dipakai hanya untuk menganalisis APBD 2021. Ini pemborosan anggaran. Apakah tim dari UGM sangat urgen dibutuhkan oleh Lembata saat Ini?
Dengan
ongkos sebesar itu, patut diduga – bukan menuduh – hasil yang kemudian lahir
kemungkinan besar sesuai dengan keinginan Elit Lembata. Ini dugaan saja,
semoga melenceng. Namun, yang paling jelas dari persoalan ini yakni aturan
dibuat untuk kepentingan elit bukan masyarakat. Dengan honorarium sebesar itu,
kita kemudian bertanya; apa fungsi seorang pemimpin di tanah Lembata yang masih
terbelakang tersebut? Apakah pelayanan total atau memanen rezeki nomplok dengan
membentengi diri pada aturan?
Terlepas dari semua ulasan di atas, saya mau menegaskan bahwa karakter politik orang Farisi mesti ditanggalkan demi kesejahteraan orang Lembata yang lagi sakit dan lapar. Aturan itu positif tetapi mesti berkiblat pada kesejahteraan masyarat bukan pada keinginan atau kepentingan elit semata.
Misalnya, tentang honor, koridor yang harus dipakai bukan saja soal aturan kesesuaian antara PAD dan besarnya honor - barangkali ini aturan nasional - melainkan juga mesti ada etika yakni melihat keberhasilan sang elit dalam membangun Lembata. Bentuk protes masyarakat merupakan ekspresi jujur yang mau menegaskan hal tersebut yakni bukan hanya kekuatan aturan yang dipakai melainkan harus ada juga refleksi keberhasilan pembagunan Lembata, khususnya saat situasi Pandemi ini.
Selain itu, ekspresi masyarakat tertuju pada banyak hal baik pada aturan yang dimaksud, rasa ketidakpuasan, masalah-masalah sosial-politis lain yang berpuncak pada ekspresi protes itu. Jadi, Pemerintah seharusnya mengevaluasi banyak hal, bukan sebaliknya hanya berpedoman pada aturan untuk membela diri. Entah honor/ biaya operasional dll bukan menjadi masalah utama, melainkan soal pelayanan untuk orang Lembata. Jika pelayanan itu memuaskan, tentu tidak ada protes seperti itu. Jadi ada banyak hal yang mesti dievaluasi bukan saja soal honor dll yang sudah diatur oleh elit melalui UU dan tentu menguntungkan mereka.
Kita semua merindukan kabupaten kecil tersebut tidak lagi disebut sebagai Negeri Kecil Salah Urus. Jalan yang mesti ditempuh yakni dengarlah hati nurani, transparan, kerja sama dengan tetap rendah hati dan membuka diri dan yang paling penting dengarkan dan libatkan masyarakat kecil untuk sama-sama membangun Lewo Tana-Leu Awu’ tercinta.
Jangan
lagi ada perang tanding demi kepentingan politik praktis ditengah penderitaan
orang Lembata tetapi berperanglah untuk
membela masyarakat kecil. Semoga keresahan ini bisa diterima, jika tidak anggap
saja ini sampah! (Admin)