Merindukan Taan Tou Pemda Lembata dan Organisasi Mahasiswa
Merindukan Taan Tou Pemda Lembata dan Organisasi Mahasiswa
Catatan pada Hari Ulang Tahun Front Mata Mera
Oleh Rian Odel
K |
onsep
taan tou sudah lama terdengar dalam ungkapan lokal orang Lamaholot khususnya Lembata. Secara
filofosis, makna dari konsep tersebut sangat universal yakni mengajak orang
untuk bersatu. Dalam konteks Kabupaten Lembata – Negri Kecil Salah Urus menurut
Steph Tupeng Witin (2016) – konsep tersebut juga dipakai oleh Pemerintah Daerah
Lembata. Kalau kita membaca koran lokal, entah itu Pos Kupang atau Flores Pos,
terbaca jelas ajakan dari Pemerintah setempat bagi masyakat Lembata untuk
memaknai konsep tersebut.
Terlepas
dari pertanyaan di atas, tentu taan tou
merupakan konsep yang bermakna positif bagi kehidupan sosial-politis di
Kabupaten Lembata. Namun, seringkali tak bisa dimungkiri bahwa konsep tersebut
bisa saja dimanipulasi oleh orang-orang tertentu untuk melegalisasi
kepentingannya. Kalau taan tou berarti mengajak untuk bersatu, berarti jembatan
untuk menuju ke inti konsep tersebut ialah keterbukaan hati dan pikiran. Selain
itu, telinga dipakai untuk mendengar agar semua masukan dari berbagai penjuru
mata angin bisa diproduksi menjadi satu dan bermanfaat sosial. Ini soal
kerendahan hati.
Taan
tou sejatinya bukan sekadar slogan politis, melainkan ia mesti menjadi spirit
sakral dalam proses memajukan Negri Kecil Salah Urus tersebut. Oleh karena itu,
konsep taan tou mesti direalisasikan dalam kerja nyata membangun Lembata. Sebab
tanpa bukti lapangan, taan tou hanya
sekadar ungkapan manis seperti seorang koruptor sebelum menjadi politisi. Atau seperti
ungkapan rakyat bicara partai politik hanya mendengar tanpa action.
Bertepatan
dengan hari jadi organisasi mahasiswa Front Mata Mera ini, penulis ingin
memberikan sedikit ide tentang proses mewujudkan taan tou demi perjalanan ke depan Kabupaten Lembata. Kita tentu
sudah tahu tentang seluk-beluk dan perjalanan panjang organisasi Front Mata
Merah dalam kerangka perjuangan membangun Lembata. Tidak bisa dielak bahwa
organisasi ini sangat progresif melawan ketidakadilan, pengebirian nalar kritis
dan oligarki, khususnya yang bercokol di Lembata.
Kita
ingat kasus proyek Awololong yang masih mangkrak – tapi mungkin dianggap wajar oleh
para pembela Pemerintah sebagai pencetus utama – atau tentang antrian panjang
untuk mendapatkan bahan bakar dan masih banyak lagi problem sosial yang sering
dikritik oleh organisasi tersebut. Selain mata merah, juga ada organisasi
mahasiswa lain yang ada di kupang, misalnya Ampera dan seterusnya.
Keterlibatan
organisasi mahasiswa sebagaimana saya sebutkan di atas membuktikan bahwa mereka
sedang berproses menuju taan tou sejati
demi Lembata yang lebih baik. Mereka sedang menemukan diri sebagai agent of change secara lebih kompleks. Ingat,
reformasi lahir karena progresivitas mahasiswa! Mereka sedang merealisasikan taan tou di hadapan pemerintah dan
masyarakat Lembata.
Oleh
karena itu, perjuangan mereka mesti dibaca secara positif demi cinta terhadap
Lembata bukan perjuangan kepentingan politik praktis yang nyaman dengan pola memanipulasi
hati nurani orang Lembata. Mereka – baca para mahasiswa – sedang menunjukkan
dirinya sebagai orang Lembata sejati yang peka terhadap masalah sosial-politis
di Lembata – lebih banyak masalah yang diproduksi oleh para elit politik tanpa
rasa malu dan beban.
Dengan
itu, kita bisa memahami bahwa semua perjuangan-progresif yang dilakukan oleh
organisasi mahasiswa bebas dari latar belakang politik praktis. Karena itu,
mesti ditanggapi secara serius-rasional oleh para pengambil kebijakan baik itu
wakil rakyat, pemerintah maupun para penegak hukum yang kadang-kadang tidak
tegak lurus.
Taan Tou Pemda dan
Mahasiswa
Sudah
jelas ulasan di atas bahwa mahasiswa Lembata sedang berjuang mewujudkan
idealisme demi Lembata yang maju dan jaya. Namun, perjuangan mereka akan
menemukan banyak jalan berlubang, jika para pengambil kebijakan hanya berpangku
tangan dan saling serang soal honor dan tunjangan pribadi yang menggunung.
Oleh
karena itu, konsep tentang taan tou
mesti dipakai dalam permasalah model ini. Artinya, para pengambil kebijakan,
entah pemerintah atau wakil rakyat mesti duduk bersama organisasi mahasiswa
untuk melakukan diskusi bersama. Sebab melalui diskusi rasional, setiap masalah
bisa dipecahkan dan dicari titik temu serta jalan keluarnya secara lebih gampang.
Anehnya,
sejauh ini pemerintah Lembata tidak pernah mengundang organisasi mahasiswa
untuk duduk bersama seolah-olah mahasiswa adalah musuh dalam perang perebutan
kekuasaan. Atau sebaliknya, pemerintah seolah-olah menjadikan dirinya dewa yang
tahu segalanya dan tidak membutuhkan peran mahasiswa. Ini salah!
Bukti riil bahwa Lembata kaya masalah mestinya mendorong pemerintah dan organisasi mahasiswa dan tentu elemen lainnya untuk duduk bersama dalam spirit taan tou bukan berjuang secara sepihak. Jika pemerintah yang suka sekali mengumandangkan konsep taan tou dan Aku Lembata tidak menanggapi perjuangan mahasiswa, maka patut diduga ada rasa “takut atau beban.” Ya, saya katakan “takut” karena sudah berulangkali demonstrasi dilakukan oleh para mahasiswa Lembata tetapi diskusi bersama tidak pernah diinisiasi oleh Pemda setempat. Padahal taan tou mesti diwujudkan dalam persoalan-persoalan seperti ini.
Taan
tou bukan konsep parsial. Ia universal dalam konteks Lembata. Taan tou tidak
boleh dimanipulasi untuk menyembunyikan kebobrokan yang ada di Lembata, tetapi
ia mesti menjadi spirit yang membongkar kebobrokan itu. Jika pemerintah
menghormati perjuangan mahasiswa, maka mesti ada kesempatan untuk duduk bersama
membahas tentang nasib Lembata kini dan akan datang. Tidak boleh ada perang
tanding antara pemerintah dan mahasiswa. Mahasiswa mesti dijadikan teman dalam
membangun Lembata bukan musuh politik. Sebab mahasiswa itu independen. Inti dari
semua ini ialah taan tou antara Pemda dan organisasi mahasiswa diwujudkan demi
Lembata; mungkinkah?