Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Makna Manuq Lei dalam Ritus Poan Kemer

Makna Manuq Lei dalam Ritus Poan Kemer

Oleh Oktovianus Olong


Manuq Lei: Jalan Menuju Kebenaran

S

etiap kebudayaan memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan kebenaran. Tentu kebenaran yang dimaksud bukanlah kebenaran yang tak terbatalkan. Sebab, siapakah manusia sehingga mampu mencapai kebenaran? Bukankah kita hanya bisa mendekati kebenaran? Namun, sikap optimis harus bisa mengurung kecenderungan pessimis. Itulah yang dipraktikkan masyarakat Kedang-Lembata. Melalui ritus dan upacara keagamaan lokal, orang-orang Kedang terus berusaha mengungkap kebenaran.


Masyarakat Kedang secara kultural memiliki cara untuk mendekati kebenaran. Salah satu cara yang hendak diangkat dalam tulisan ini adalah cara mengungkapkan dan menemukan kebenaran dari manuq lei (kaki ayam). Upacara ini bukan merupakan sebuah ritus terpisah. Pengungkapan kebenaran ini merupakan bagian dari ritus yang dihidupi masyarakat setempat. Ritus yang dimaksud adalah poan kemer (Tentang pengertian dan makna ritus ini, dapat diketahui melalui tulisan saya sebelumnya. Makna Simbolis Ritus Poan Kemer Bagi Masyarakat Kedang-Lembata. Juga terbit dalam blog ini).

 Perlu saya tegaskan kembali bahwa upacara poan kemer ini pertama-tama untuk mengadakan perdamaian dengan Tuhan (Nimon Rian Arin Baraq), juga leluhur (Tuan Ino Bua, Woq Amo Kaban). Poan kemer disini mengungkapkan ketidakmampuan manusia untuk hidup sendiri dan selalu membutuhkan campur tangan dari orang lain (Tuhan, sesama, dan leluhur). 

Ritus ini berlangsung karena masyarakat Kedang yang telah mengalami kebaikan dari Tuhan, sesama, dan leluhur. Kenyataan ini senada dengan Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Karen Armstrong (2011: 208): “Orang-orang mendatangi misteri agama-agama bukan untuk mempelajari (mathein) sesuatu, melainkan untuk mengalami (pathein) sesuatu.”

Mengapa Harus Manuq Lei?

Dalam ritus Poan Kemer, ada upacara kurban. Kurbannya berupa hewan. Salah satu kurbannya adalah ayam. Bisa juga babi. Tetapi itu bergantung persoalan yang sedang dihadapi. Ayam sebagai salah satu hewan kurban memiliki banyak makna. Salah satu makna terletak pada kakinya (manuq lei). Posisi kaki pada ayam itu biasanya dijadikan tolok ukur untuk menerangkan jawaban atas persoalan yang dihadapi.

 Ayam dalam upacara poan kemer akan diangkat dengan posisi kaki jauh dari tanah. Molan sebagai pemimpin upacara dengan posisi tangannya disekitar leher dan mulut ayam. Ia berposisi seperti mencekik ayam sambil mengungkapkan penyesalan dan tobat. 

Saya katakan seperti mencekik karena ia tidak langsung menghabiskan nyawa ayam itu sekaligus. Ayam dibiarkan untuk mati secara perlahan. Molan mengungkapkan penyesalan dan pengakuan atas kesalahan itu kepada Tuhan dan leluhur sebagai perwakilan dari subjek atau keluarga yang menyelenggarakann upacara Poan Kemer.

 Tiga Makna Manuq Lei dalam Poan Kemer

Berikut ini tiga makna manuq lei (kaki ayam) dalam ritus poan kemer.

Pertama, Kaki kanan di atas kaki kiri artinya Wujud Tertinggi sudah menerima dan tidak ada lagi dosa. Ungkapan Bahasa Kedangnya : manuq hali bote wana tutuq tiba teheq te’e, mu’ur ‘eruq wahar walin.

 Kedua, Kaki kiri di atas kaki kanan artinya Wujud Tertinggi tidak hanya menerima tetapi juga merangkul suasana aman dan damai. Ungkapan Bahasa Kedangnya : awuq kabaq keung kareq.

 Ketiga, Kaki kanan jauh dari kaki kiri (hiang) artinya masih ada soal yang belum disebutkan sehingga diperlukan pengakuan dan pertobatan dari pihak yang menyelenggara upacara poan kemer. Ungkapan Bahasa Kedangnya : wangun ohaq nau bulu, lean ohaq nau pareq, tutuq ohaq nau tiba, teheq ohaq nau te’e.

Catatan akhir

 Setiap kebudayaan memiliki kekayaan nilai dan makna. Nilai dan makna itu dapat ditemukan dalam ritus yang dijalankan. Oleh karena itu, perlunya untuk menggali dan memaknai setiap makna simbolis yang terkandung dari setiap ritus. Mengungkapkan makna manuq lei adalah salah satu  cara saya untuk mengangkat kekayaan kearifan lokal untuk  mengungkapkan kebenaran. Semoga kita selalu bangga akan kekayaan lokal kita dan menghilangkan prasangka yang buruk. 

Saatnya kita benah diri dari lingkungan hidup sendiri. Jangan asing ditanah sendiri. Budaya lain hanya memberi metode dan kita harus bisa merumuskan budaya kita sendiri.