LDR Production Promosi Budaya Kedang Lewat Film Kelung Lodong
Film
pendek dengan judul kelung lodong
menjadi salah satu bentuk kreativitas generasi milenial dalam mewartakan
kekhasan budaya lokal. Kelung lodong merupakan film yang digarap oleh kelompok
LDR Production. Kelompok ini dibentuk pada tahun 2019, beranggotakan sembilan
orang. Mereka itu yakni, Maros, Chiu, Rian Odel, Eman Lengary, Never, Iso Olong, Nunik,
Aken dan Jecko.
Saat
ini, LDR Production dinahkodai oleh Maros yang juga adalah mahasiswa aktif pada
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Film pendek
dengan durasi waktu singkat lima menit ini mendapat respon dari banyak pihak
setelah diunggah pada channel youtube LDR
Production. Banyak penonton pada channel tersebut memberi apresiasi dan
mengharapkan agar produktivitas kelompok tersebut terus mengalir.
Motivasi
awal terbentuknya kelompok tersebut amat sederhana yakni untuk menggali kekhasan
budaya lokal yang ada di tengah masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Eman
Lengary selaku wakil ketua kelompok.
“Ya,
kami membentuk kelompok ini, selain untuk mengembangkan potensi diri, tetapi
terpenting ialah nilai edukasi berbasis budaya lokal orang flores bisa digali
secara kreatif,” ungkapnya saat ditemui di kediamannya di Wairpelit, Desa
Takaplager, kecamatan Nita, Sikka, Sabtu (06/02/2021).
Hal
yang sama diungkapkan oleh Rian Odel, pemeran utama dalam film pendek tersebut.
Ia mengatakan, film kelung lodong
menjadi kesepakatan kelompok karena budaya orang Kedang di Lembata memiliki
keunikan tertentu yakni bahasa daerahnya.
“Setelah
kami sepakat, budaya kedang menjadi pilihan kami karena teman-teman bilang
bahasa kedang itu rumit dan banyak orang belum mengetahui kekhasan budaya
kedang. Karena itu, kami pilih budaya lokal orang kedang,” ungkapnya.
Kelung Lodong
Kelung lodong, “tukar-menukar” atau barter. Ungkapan
ini dipakai oleh orang kedang tempo dulu – sekarang sudah mulai luntur – untuk aktivitas
barter di pasar. Sebab pada zaman dahulu, orang kedang belum terbiasa dengan
uang sebagai alat pembayaran sah di pasar-pasar tradisional.
Berawal
dari sang istri yang dilakoni oleh Nunik, Mahasiswi STFK Ledalero berdialog
dengan sang suami. Suami – Rian Odel – memohon dukungan dari sang istri untuk
sukses mencari nafkah. Sang istri tinggal di rumah sambil menantikan sang suami
yang membanting tulang demi kelangsungan hidup keluarga.
Kemudian,
sang suami tersebut, membawa hasil kebunnya berupa singkong untuk ditukarkan
dengan ikan milik Iso Olong yang berperan sebagai nelayan. Namun, uniknya
ialah, setelah mereka melakukan barter di pantai, pemeran sebagai suami
mengundang sang nelayan untuk makan bersama di rumahnya.
Menurut
Iso Olong, dalam budaya kedang ada ungkapan wela
owan wata paro atau sebaliknya. Artinya, ketika orang di pedalaman lapar,
maka orang pantai atau pesisir wajib memberi makan maupun sebaliknya. Hal ini
berarti bahwa relasi sosial dalam budaya kedang sudah dihayati sejak dulu
melalui praktik barter.
Orang
pantai menukar ikan dengan ubi atau pisang dari orang pedalaman. Jadi barter
ini digarap secara kreatif dalam film kelung
lodong. Pada bagian akhir film tersebut, mereka mengadakan makan malam
bersama sambil saling menasihati agar kehidupan orang kedang tak boleh terpecah
oleh pengaruh negatif-ekternal.
Mereka
diharuskan untuk menghayati praktik barter dengan metode yang baru, misalnya,
saling membantu, toleransi, dan relasi positif lainnya.
Orang Kefa Bicara
Bahasa Kedang
Never,
pria asal Kefa, TTU, Timor ini, mengungkapkan rasa bahagianya ketika berperan
sebagai salah seorang penjual ikan di pasar. Dengan kata-kata yang kaku, ia
berusaha melafalkan bahasa daerah Kedang yang menurutnya sangat sulit.
“Ah,
awalnya, sulit sekali ketika bicara bahasa kedang. Saya gugup tapi demi
kreativitas, ya, saya kipas saja,” ungkapnya sambil tertawa.
Setelah
film tersebut diunggah, belum ada tanda-tanda gembira dari LDR Production untuk
melahirkan film pendek baru. Mereka diharapkan agar bisa terus produktif di
masa pandemi Covid-19 ini.
(Admin)