Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Relevansi Gereja dan Budaya Lokal dalam Konsili Vatikan II

 


Pendahuluan

Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja Katolik dikenal sebagai institusi religius yang ekslusif. Artinya, Gereja menutup diri terhadap semua ajaran yang tidak berasal dari Yesus Kristus bahkan secara radikal mengklaim sebagai satu-satunya jalan yang benar menuju keselamatan akhirat dengan adagiumnya yang terkenal yaitu Extra Ecclesiam Nulla Salus “di luar Gereja tidak ada keselamatan” (Bdk. Yoh 14:6).

Namun, pascaKonsili Vatikan II, tradisi ekslusif dan ketat ini mulai direfleksikan dan disusun ulang sesuai tuntutan zaman. Gereja dalam kesatuannya dengan dunia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan realitas dunia yang penuh dengan aneka budaya lokal. Jika tidak, mungkin misi pastoral Gereja mengalami kendala karena di tengah umat yang heterogen terdapat banyak budaya yang masih melekat dalam diri masyarakat setempat bahkan hingga kini.

Pengertian baik dari Gereja untuk tetap mengayomi warisan lokal di tengah umat telah mencapai klimaks dalam Konsili Vatikan II yang diselenggarakan pada tahun 1962-1965[1] ketika Indonesia mengalami tragedi pembantaian G30S PKI. 

Ada dua hal yang mengganggu perkembangan Gereja[2] yaitu, pertama, Gereja (katolik) belum berhasil secara penuh dalam mengatasi masalah spiritualitas abad pertengahan yaitu timbul persaingan antara imamat dan kekaiseran. Artinya pada zaman pertengahan Gereja belum menjadi institusi otonom sehingga para bapa Gereja menggonta-ganti Konsili untuk menemukan solusi kontekstual.

Kedua, sasaran Gereja saat ini banyak bergantung pada persatuan Gereja-gereja. Gereja masih menghadapi tantangan spiritual dan kultural yang menuntut kebijaksanaan untuk segera mencari solusi. Tantangan spiritual berkaitan dengan persatuan internal Gereja akibat reformasi protestanisme tetapi juga di sisi ekternal gereja berhadapan dengan aspek kebudayaan.

Gereja tentu tidak mengeliminasi warisan budaya lokal yang diproduksi oleh umat tetapi tetap kritis membedakan ajaran Gereja di hadapan budaya sambil mencari jembatan yang disebut inkulturasi. Masalah kedua menjadi salah satu faktor yang mendorong diadakan Konsili Vatikan II. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas secara baik relevansi Gereja dan budaya lokal dalam bingkai konsep Konsili Vatikan II. Apakah konsep inkulturalisme masih relevan?

Konsili Vatikan II dan Budaya Lokal

Misi Gereja di dunia terus mengalami perubahan seturut situasi dan kondisi tempat sasarannya. Gereja tidak memiliki proses evangelisasi yang sama secara universal karena masing-masing Gereja memiliki kekhasan baik sosio-politik, pluralitas agama, maupun kebudayaan-kebudayaan umat yang beranekaragam. Perbedaan itu bukan hanya terdapat dalam tubuh Gereja melainkan juga dalam konteks eksternal.

Gereja mengalami perkembangan yang selalu mengalir ke depan atau Pantharei. Segala sesuatu berubah bukan bertahan mutlak pada ajaran dogmatisme atau doktrinal tertentu tanpa memandang konteks. Tepat disini, setiap Gereja dituntut untuk beradaptasi. Salah satu pokok pembicaraan Konsili Vatikan II ialah relevansi Gereja dengan kebudayaan lokal setempat.

Tugas misioner Gereja harus menghubungkan pembangunan masyarakat dengan peranan Gereja di dalamnya. Ensiklik Paus paulus  VI, “Evangelii Nuntiadi” (1975) menegaskan konsep inkulturasi sebagai bagian penting untuk mendukung proses evangelisasi.[3] Ensiklik tersebut merupakan buah lanjutan dari Konsili Vatikan II yang secara tegas membuka tirai Gereja katolik untuk menerima perbedaan dalam konteks internal pun eksternal.

Pembaharuan yang dilakukan dalam bingkai Konsili Vatikan II bukan mengubah secara total konsep-konsep Konsili sebelumnya melainkan bermaksud merefleksikan perubahan dalam paham gereja waktu itu.[4] Salah satu paham radikal Gereja bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja secara tegas diperbaharui. Gereja bukan satu-satunya penjamin keselamatan eskatologis melainkan dalam setiap agama maupun kebudayaan tradisional tersimpan nilai-nilai yang sama tentang kehidupan yang dikehendaki Tuhan.

Misalnya dalam tradisi-tradisi tradisional terdapat ajaran tentang kasih, saling membantu, juga yang terpenting ialah keyakinan akan adanya wujud tertinggi. Nilai-nilai positif seperti ini menjadi bahan refleksi yang melandasi terbentuknya Konsili Vatikan II dan hemat saya sangat relevan dan bertahan hingga saat ini. Lewat pengalaman ini, Paus Yohanes Paulus II menegaskan inkulturasi telah membuat injil menjelma dalam aneka kebudayaan sekaligus merangkum seluruh bangsa untuk bersatu dengan Kristus.[5]

Artinya, Kristus sebagai kepala tidak pernah membeda-bedakan identitas para anggota-Nya tetapi merangkum perbedaan itu menjadi satu dalam GerejaNya. Kristus sendiri semasa hidupnya di Palestina hadir sebagai seorang yang berbudaya Yahudi dan setia menjalankan ajaran-ajaran yang terkandung dalam nilai-nilai kebudayaan tempat asal-Nya secara kritis. Dia tidak secara mutlak atau radikal mempraktikan ajaran budaya Yahudi tetapi selalu membaca konteks.

Teladan Yesus ini telah menjiwai Paus Yohanes XXIII[6] untuk segera menggelar Konsili yang bermuara pada misi yang kontekstual bukan radikal dengan  konsep Aggiornamento. Gereja telah membongkar doktrin-doktrin ketat yang selalu menjadi pagar untuk mewartakan injil ke pelosok dunia lainnya. Konstitusi Lumen gentium artikel 13 secara ringkas berisi tentang kekatolikan Gereja yang substansinya yaitu keselamatan dari Allah ditujukan kepada semua umat manusia dari beraneka latar belakang.

Katolik berarti mencakup seluruh dunia dengan segala perbedaan-perbedaan sebagai realitas mutlak yang memperkaya Gereja.[7] Selanjutnya dalam Dokumen konsili Vatikan II, No 2 secara tegas berisi tentang seruan Gereja untuk menghormati sistim-sistim kepercayaan tradisional yang memiliki nilai luhur misalnya ada keyakinan akan eksistensi wujud tertinggi dan sebagainya.[8] Gereja memandang kebiasaan-kebiasaan asli sebagai bagian dari karya manusia untuk menempuh keselamatan eskatologis.

Artinya, Gereja tidak lagi melihat budaya lokal sebagai praktik primitif yang haram sehingga perlu dibasmi tetapi sebaliknya Gereja membaur diri dalam konsep inkulturalisme seperti yang terdapat dalam Konsili Vatikan II. Keterbukaan semacam ini sejalan dengan deklarasi Konsili Vatikan II yang tertulis dalam dokumen Evangelii Nuntiandi bahwa semua perbedaan baik budaya maupun agama-agama nonkristen harus diterima untuk membangun kerja sama melalui dialog konstruktif.[9]

Kerja sama ini bertujuan untuk saling menghargai sebagai ciptaan Tuhan yang mendasarkan diri pada satu Tuhan tetapi berbeda dalam proses untuk mencapai yang Transenden itu. Misalnya dalam agama islam ada ajaran tentang perdamaian yang sesuai dengan misi Yesus atau hinduisme memiliki praktik mati raga untuk pembebasan diri, ada cinta kasih dan pengharapan akan keselamatan.[10] Nilai-nilai dan segala tradisi tersebut memiliki maksud luhur yang sama terdapat dalam Gereja dan budaya lokal.

Jika diselisik dari asal kata sesuai konteks indonesia, kebudayaan secara implisit menampilkan diri sebagai warisan yang luhur. Menurut arti etimologis, kata budaya (culture) berasal dari bahasa sanskerta yaitu, budhayah yang bermula dari istilah buddhi dan daya. Buddhi merupakan aspek yang ada dalam diri manusia, sedangkan daya merupakan aspek lahiriah manusia. Budidaya berarti, segala aktivitas dan penghasilan masyarakat manusia.

Menurut Selosoemardjan dan Solaeman Soemardji, budaya berarti hasil karya, karsa, dan rasa manusia. Menurut koentjaraningrat, kebudayaan merupakan keseluruhan sistim gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan cara belajar. Kebudayaan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, budaya nasional dan budaya lokal. Budaya nasional adalah salah satu budaya daerah yang paling menonjol dalam suatu negara.

Budaya lokal merupakan segala macam adat dan tradisi yang menyatukan sekelompok manusia yang menetap pada suatu wilayah tertentu, serta mempunyai kekhasan, seperti suku, bahasa, agama tradisional, serta ikatan dengan leluhur.[11] Oleh karena itu, keputusan yang dieksekusi dalam Konsili vatikan II adalah bagian penting yang turut membantu Gereja dalam menampilkan identitas diri dalam balutan budaya-budaya lokal yang juga adalah bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh umat Allah.

Keputusan ini membuat eksistensi Gereja sebagai institusi religius tetap langgeng berdiri dan relevan dengan tuntutan zaman bahkan semakin dicintai umat yang berbudaya. Hal fundamental yang perlu diperhatikan ialah Gereja harus beradaptasi secara kritis yaitu tetap mempertahankan iman akan Kristus di tengah budaya lokal. Dengan demikian masyarakat yang berbudaya merasa diterima dan menyerahkan dirinya untuk bersatu dalam iman Kristen.

Penutup

Gereja Konsili Vatikan II telah membuka tradisi baru yaitu menerima kebudayaan juga agama lain untuk membangun dialog. Hal ini paralel dengan paham dari Richard Rorty yang anti paham ortodoksi, fundasionalisme dan anti terhadap paham filosofi secara metafisis.[12] Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja tenggelam dalam paham-paham fundasional, ortodoksi mutlak bahkan mengklaim diri sebagai jalan tunggal menuju keselamatan eskatologis yang menurut saya sangat metafisis.


Konsili Vatikan II merekonstruksi kebiasaan lama dalam perjalanan sejarah Gereja yang selalu berjumpa dengan anekaragam kebudayaan lokal. Realitas multikultural seperti ini menuntut kebijaksaanaan untuk membaca konteks setelah merefleksikan aspek internal seperti doktrin-doktrin atau ajaran yang menghambat perkembangan kerajaan Allah dan meredeskripsi identitas dasar. Artinya, doktrin-doktrin yang terdapat dalam tubuh Gereja harus dilihat kembali sebagai sesuatu yang dinamis sehingga memungkinkan Gereja untuk beradaptasi dengan umatnya khususnya mereka yang masih melekat dengan kebudayaan lokal.


Jika tidak, akan terjadi benturan antara doktrin Gereja dengan warisan lokal yang juga tidak kalah luhur nilainya bagi kehidupan sosio-religius dan multidimensi lainnya. Hemat saya, Konsili Vatikan II telah membangun konsep baru yang mungkin akan tetap langgeng. Hal yang diutamakan bukan aspek ritualistik belaka, melainkan keselamatan semua umat manusia sehingga Gereja perlu mencari metode-metode jitu untuk menyelamatkan manusia. Salah satunya melalui inkulturasi dalam Gereja.


Hemat saya, ada dua nilai yang bisa dipakai sebagai dasar refleksi Gereja sejak Konsili Vatikan II hingga sekarang dan seterusnya yaitu respect dan hope.[13] Kedua nilai ini merupakan bagian dari refleksi Rorty. Respect dilihat sebagai nilai substansial untuk membangun solidaritas inter-gentes. Nilai ini telah direalisaikan dalam Konsili Vatikan II yang menghormati perbedaan atau solidaritas dengan budaya lokal.


Hope, harapan untuk mencapai masa depan ideal. Nilai kedua ini menjadi tujuan dari Gereja yaitu keselamatan eskatologis bagi semua umat manusia yang heterogen tetapi berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Semua manusia memiliki kerinduan metafisis seperti itu dan sinkron dengan iman Kristen bahwa tujuan kita ialah menuju Allah dan kerinduan ini adalah hak setiap orang.   


Oleh Rian Odel

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Tom jacobs, Gereja menurut konsili Vatikan II (Yogyakarta: Penerbit kanisius, 1987), hlm. 8.

[2] Eddy Kristiyanto, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlm. 9.

[3] Tom Jacobs, op. cit., hlm. 62-63.

[4] Ibid., hlm. 12.

[5] Bernardus Boli Ujan, Mati Dan Bangkit Lagi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 150.

[6] Dokumen Konsili Vatikan II, Dokumentasi dan Penerangan KWI (Jakarta: Obor, 2013), hlm. xii.

[7] Georg Kirchberger, Allah menggugat (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 699.

[8] Hubertus Muda dkk., Dialog Antar Agama Dan Budaya (Ende: Arnoldus, 1991), hlm. 152-153.

[9] Ibid., 153.

[10] Ibid.

[11] Puline Pudjiastiti, Sosiologi Kelas xi ( Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 65-67.

[12] Felix Baghi, Redeskripsi Dan Ironi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 6-7.

[13] Ibid., hlm.1.