Keyakinan Tradisional Orang Kedang Tentang Hari Kiamat
Foto: Herman Botung Raba di Pantai Wata ana', Noni', Kedang Lembata |
Perlu
saya informasikan kepada pembaca khususnya orang Kedang-Uyelewun di mana pun
berada bahwa tulisan sederhana ini belum melewati sebuah proses penelitian
serius. Saya hanya menggali secara singkat. Saya juga hanya mewawancarai
seorang narasumber yang menurut saya sangat layak bagi siapa saja yang mau
menggali sejarah dan keunikan tempo dulu di Kedang padanya.
Ia
adalah bapak Beda Pati yang saat ini menetap di Hule, Desa Nilanapoq, Kecamatan
Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Baik sejarah lokal maupun
kepercayaan-kepercayaan kuno lainnya sangat baik ia kuasai.
Namun,
bukan berarti bahwa hanya beliau yang patut menjadi narasumber. Pasti masih
banyak tetua Kedang lainnya yang juga memiliki kekayaan informasi seputar orang
Kedang zaman dahulu. Oleh karena itu, tulisan dengan judul Keyakinan Tradisional Orang Kedang Tentang Hari Kiamat ini perlu
disempurnakan lagi oleh pembaca sekalian yang barangkali juga sedang menggeluti
hal yang sama dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya sebatas informasi kecil.
Konsep Hari Kiamat
Hari
kiamat atau akhir zaman lebih jelas terdengar ketika kita masuk dalam ruangan
ibadah tertentu baik gereja maupun masjid. Sebab di dalam rumah ibadah, para
pengkotbah tak jarang berbicara tentang akhir zaman. Hal ini juga tentu
bertolak dari ajaran Kitab Suci yang menjadi pedoman hidup mereka.
Namun
demikian, tulisan ini bukan mendalami ajaran agama samawi seperti Islam dan
Kristen melainkan mau menginformasikan tentang keyakinan tradisional orang
Kedang tentang akhir zaman. Sebelum kehadiran agama samawi di bumi Uyelewun, ternyata
para Leluhur sudah mewariskan secara oral tentang akhir zaman dalam ajaran
tradisional Kedang. Orang Kedang sejak awal mula sudah memiliki konsep tentang
akhir zaman.
Akhir
zaman dalam bahasa Kedang seringkali dikenal dengan sebutan, Tahi’ wei Keu. Ya, bahasa ini yang
sering saya dengar. Saya belum mencari tahu secara valid akhir zaman dalam
bahasa Kedang yang sebenarnya. Namun, dugaan saya Tahi’ Wei Keu mungkin mendapat pengaruh dari ajaran agama Kristen
dan Islam di Kedang tentang akhir zaman.
Secara
harafiah, Tahi’ Wei Keu berarti “laut
dan air naik atau pasang.” Ini menegaskan sebuah situasi bencana alam besar
seperti cerita dalam Kitab Kejadian pada zaman Nabi Nuh. Zaman ini sering
disebut sebagai parousia; zaman akhir
dunia; manusia dilanda tsunami besar, langit runtuh, tanah longsor, gempa bumi
dahsyat terjadi di bumi. Ya, ini sebuah keyakinan yang membayang-bayangi kita
walaupun kita sendiri tak tahu yang sebenarnya.
Pertanyaannya;
kapan zaman akhir dunia itu terjadi sesuai kepercayaan tradisional orang Kedang?
Menurut bapak Beda Pati, zaman tersebut akan terjadi ketika Wula (Bulan) dan
Loyo (Matahari) berdamai kembali.
Bulan sendiri menegaskan kuasa
kegelapan atau jahat dan matahari adalah sumber terang atau kebaikan. Artinya,
akhir zaman bisa terjadi ketika kebaikan dan kejahatan itu berdamai atau
rekonsiliasi atau Bela Kame dalam
bahasa Kedang. Lantas; bagaimana keyakinan orang Kedang tentang bulan dan matahari?
Untuk
mendalami konsep orang Kedang tentang Bulan-Matahari, kita bisa menelusurinya
melalui mitos Peni Muko Lolon dan sapaan
untuk menyebut Wujud Tertinggi. Namun, tulisan ini lebih tepat jika mengambil
referensi dari mitos Peni Muko Lolon.
Dalam mitos tersebut dewa bulan dan matahari pernah bertengkar karena saling
tuduh-menuduh tentang ilmu hitam (ma’ molan).
Pada
akhirnya, keduanya sepakat untuk melemparkan masing-masing anak mereka ke bumi.
Jika, anak yang mereka lemparkan ke bumi tetap menjadi manusia biasa, maka
orangtuanya berhak menjadi penguasa kebaikan atau siang. Jika tidak, maka orangtuanya
akan menjadi penguasa malam, sumber kejahatan atau kegelapan.
Pada
akhirnya, keduanya melemparkan anak ke bumi. Putri dari matahari tetap utuh
menjadi manusia yakni Peni Muko Lolon
yang kemudian menikah dengan Pulo Lama Le’ang
dan melahirkan berlipatganda manusia. Sedangkan anak dari bulan menjadi kadal, ular,
tokek dan sejenisnya. Dengan demikian matahari berhak menguasai siang. Ia menjadi
dewa kebaikan. Bulan menjadi dewa kegelapan. Bulan dan matahari atau
kejahatan dan kebaikan menjadi terpecah atau bermusuhan hingga kini.
Secara
mikrokosmis bulan dan matahari ada dalam diri manusia. Hal ini lebih jelas
terlihat pada tingkah laku manusia. Juga orang kedang sendiri ada yang bernama
lokal seperti nama benda-benda langit yakni Wula (bulan), Loyo (matahari), Lia
(bintang pagi) dan lain-lain.
Selain
itu, kita bisa menduga-duga dalam kaitan dengan kondisi awal sebelum
pertengkaran itu bahwa keduanya bisa saja masih bersahabat. Tempat tinggal
mereka tentu saja di atas awan atau di langit (bisa juga surga dalam bahasa
indonesia yang menggambarkan kesempurnan total). Tempat yang aman dan damai. Namun,
ketika keduanya bertengkar dan bermusuhan, maka situasinya akan menjadi
berbeda. Mulai ada kejahatan dan kebaikan. Awalnya kebaikan dan kejahatan itu
berada pada tangan dewa matahari dan bulan tetapi kemudian menjelma menjadi
manusia dan binatang malata di bumi.
Manusia
akan selalu bermusuhan dengan kadal, ular dan seterusnya yang mau menegaskan
bahwa kejahatan dan kebaikan itu akan terus bertolak belakang dalam kehidupan
manusia. Keduanya belum bela kame
atau berdamai seperti kondisi awal mula di langit yang tinggi. Manusia akan
selalu dikuasasi oleh dua kuasa ini yakni kejahatan dan kebaikan
Berdamai Kembali
Melalui
mitos Peni Muko Lolon, kita bisa
mencari tahu akar dari kejahatan dan kebaikan. Menurut John Masford Prior dalam
bukunya Daya Hening Upaya Juang (2000:
6) mitos memberi arah kehidupan manusia. Ia menegaskan,
“Jadi,
simbol-simbol budaya, upacara-upacara serta mitos-mitos masyarakat memberi
makna, arah dan integritas pada dunia pragmatis sehari-hari. Dalam realitas
Nusa Tenggara, simbol, upacara dan mitos itu berasal dari dunia budaya asli dan
dunia sosial modern.”
Pendapat
John M. Prior yang juga adalah seorang Pastor Katolik tersebut sangat relevan
dengan konsep akhir zaman menurut orang Kedang. Sebab mitos itu bukan sekadar cerita
lisan penghibur anak-anak pada malam sebelum tidur tetapi ada nilai
kebijaksanaan yang patut diadopsi untuk kehidupan setiap hari.
Selanjutnya,
ia menegaskan, “mencerdaskan masyarakat tidak dilihat sebagai proses peralihan
dari dunia mitos menuju dunia logos; sebaliknya ratio perlu dibimbing oleh sapientia
yang diwariskan dalam mitos-mitos rakyat” (Ibid.,hlm.8).
Artinya sangat jelas bahwa mitos memiliki nilai-nilai kebajikan yang sudah
dikonsepsikan oleh para leluhur kedang sejak zaman dahulu dan masih sangat relevan
hingga sekarang.
Berdamai
kembali menjadi indikator terjadinya akhir zaman. Berdamai kembali berarti
situasi ketika manusia membersihkan dosa-dosa dalam dirinya maupun dalam
relasinya dengan orang lain, dengan alam semesta dan tentu saja dengan Wujud
Tertinggi yang diyakininya. Akhir zaman dalam konsep orang kedang menegaskan
bahwa kita kembali ke langit; kembali ke surga, kembali hidup berdamai seperti Bulan dan Matahari sebelum pertengkaran itu.
Jika
demikian, akhir zaman bukan sebuah cerita yang semata-mata menakutkan – gempa,
tsunami, longsor dll – melainkan mau mengajak manusia untuk berbenah. Ia mesti kembali
seperti bayi yang murni dalam kandungan ibu sebelum “dilemparkan” ke bumi
seperti cerita Peni Muko Lolon. Ia kembali menjadi Ate Di’en Herun, “orang yang sangat baik”, yang tidak bermusuhan
dengan sesamanya. Itulah kondisi akhir zaman, kondisi sempurna, kondisi taman
Eden.
Dengan
demikian, kita mestinya menciptakan akhir zaman dalam kehidupan kita setiap
hari bukan menjelang ajal. Kita mesti menciptakan kesempurnaan hidup dalam
relasi kita dengan yang lain agar tercipta keharmonisan. Di situlah kita akan
menemukan surga yang sebenarnya. Surganya orang kedang adalah dunia yang penuh
damai, harmonis, toleransi, bukan kebencian, bukan fitnah-memfitnah, bukan
menghina agama yang berbeda dan seterusnya.
Rian
Odel
Admin.