Generasi Milenial, Budaya Lokal dan Idealisme Berpancasila di NTT
RAKATNTT.COM - Sejarah mencatat bahwa Pancasila lahir setelah Ir. Soekarno melewati proses refleksi yang matang tatkala berada di Ende, Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, tidak bisa dibantah bahwa Nusa Tenggara Timurlah yang menjadi rahim bagi dasar negara Republik Indonesia.
Dalam
Proses refleksi itu, Soekarno kembali menggali nilai-nilai universal yang
terkandung dalam budaya lokal masing-masing suku bangsa di Indonesia. Hal yang
sangat dibanggakan ialah bahwa refleksi itu pada akhirnya menemukan puncaknya
di NTT.
Walaupun
demikian, perjalanan Pancasila selalu problematis sebab ada kerusakan dalam diri
sebagian penganutnya yang gagal memaknai Pancasila. Buktinya, masih ada
aspirasi protes untuk menggantikan Pancasila. Pada titik ini, generasi milenial
NTT mesti menyadari tanggung jawabnya untuk menangkal pemahaman kotor yang
berusaha mengkudeta Pancasila di Ibu Pertiwi. Salah satu jalan yang mesti
ditempuh yaitu merawat budaya lokal NTT sebagai dasar berpancasila.
Generasi Milenial NTT
Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa generasi milenial secara spesifik berkaitan dengan
identitas kaum muda. Wikipedia mencatat
bahwa tidak ada batas waktu yang pasti untuk menentukan awal dan akhir dari
kelompok ini. Namun, para ahli memprediksi awal tahun 1980-an sebagai awal
kelahiran generasi milenial dan berakhir pada sekitar tahun 2000-an.
Penjelasan
pendek ini mengindikasikan sekaligus menegaskan bahwa generasi milenial adalah
kaum muda yang bereksistensi sebagai penerus bangsa yang tersebar di seantero
Indonesia khususnya di NTT. Generasi milenial NTT adalah aset unggul peradaban dan
kebudayaan bangsa.
Mereka
mempunyai tanggung jawab demi menjaga warisan luhur bangsa yang sudah berakar pada
momen sumpah pemuda 1928 silam. Potensi yang terkandung dalam jiwa-raga mereka
menjadi kekuatan untuk proses terealisasinya nilai-nilai Pancasila. Sebut saja
Dicky Senda – selain sebagai penggagas Komunitas Lakoat Kujawas, ia juga seorang
penulis muda NTT yang berpartisipasi dalam memajukan potensi anak-anak NTT
khususnya dalam bidang literasi, budaya lokal dan kewirausahaan sosial.
Keterlibatannya
menjadi contoh bagi generasi milenial dalam merealisasikan nilai-nilai Pancasila
seperti bidang sosial dan kecerdasan anak bangsa. Bukan hanya Dicky Senda,
melainkan juga ada banyak generasi milenial NTT lainnya yang telah menyumbang potensi
kreatifnya secara total demi suburnya Pancasila.
Budaya Lokal dan Pendidikan Pancasila
Budaya
lokal (local culture) merupakan akar dari identitas sebuah bangsa. Bangsa yang
besar mesti mengenal budayanya sendiri (Soekarno). Hal ini ditegaskan lagi oleh
Immanuel Kant bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk
mengajar dirinya sendiri (lihat Van Peursen, 1976), sebab budaya merupakan
hasil karya manusia.
Melalui
hasil karya tersebut, terpancar karakteristik manusia bersangkutan misalnya
aktivitas sosial dan falsafah hidup. Dalam tubuh kebudayaan terjalin banyak
aspek, misalnya, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hukum,
adat-istiadat dan lainnya. Demikian E. B. Tylor dalam Primitive Culture (1973).
Artinya, kebudayaan menjadi pedoman tingkah laku manusia menuju harmonisasi
dengan sesamanya dan lingkungan alam (Gregor Neonbasu, Manuskrip, 2008).
Pancasila
adalah dasar negara yang lahir dari kebudayaan Indonesia, maka generasi milenial
NTT merupakan penjaga sekaligus pewaris nilai-nilai Pancasila sesuai dengan
idealisme para Bapa Bangsa. Salah satu dasar kekuatan bagi generasi milenial
untuk mencapai nilai-nilai Pancasila yaitu merawat budaya lokal NTT.
Patut
dibanggakan bahwa provinsi NTT kerap kali dijuluki sebagai Nusa Tertinggi
Toleransi. Hal ini tentu bukan sekadar label semata tetapi berlandaskan pada
falsafah hidup dan aktivitas riil orang NTT dalam membangun bangsa Indonesia.
Julukan luar biasa tersebut merupakan buah dari nilai-nilai budaya lokal NTT
yang sarat dengan aspek humanisme sebagaimana tercantum dalam butir-butir Pancasila.
Pada
tahap ini, kesadaran generasi milenial tentang pentingnya budaya lokal mesti
ditingkatkan. Melalui budaya lokal, identitas partikular dalam diri generasi
milenial NTT bisa disatukan, misalnya keanekaragaman dalam bidang agama yang
seringkali menimbulkan huru-hara di bangsa ini. Pemahaman tentang persatuan dalam
segala segi perbedaan mesti diproduksi dalam diri generasi milenial NTT.
Huru-hara
yang dimaksud barangkali disebabkan oleh hilangnya identitas budaya lokal dalam
diri anak-anak bangsa, padahal budaya lokal adalah sumber sekaligus inspirasi
lahirnya Pancasila. Lantas, bagaimana generasi milenial merawat budaya lokal
NTT sebagai referensi pendidikan pancasila?
Pertama,
kembali ke kampung. Artinya, generasi milenial NTT mesti menggali kebiasaan
luhur yang telah lama mengakar di tengah masyarakat alamiah di kampungnya
sendiri. Peradaban luhur yang diwariskan oleh leluhur menyimpan banyak aspek
bernilai bagi wawasan generasi milenial NTT.
Sebut
saja, aspek kekeluargaan, toleransi religius, gotong-royong dan sebagainya mesti
menjadi referensi bagi generasi milenial NTT. Kebiasaan-kebiasaan luhur
tersebut masih dipraktekkan secara alamiah oleh masyarakat lokal di kampung
tanpa intervensi lembaga pendidikan.
Mungkin
berlebihan kalau saya mengadopsi pemikiran J.J. Rousseau (1712-1778) untuk
kembali ke alam. Manusia mesti kembali ke dalam kehidupan alamiahnya sebagai
ada yang baik. Dia bahkan memberi sinisme terhadap perkembangan pendidikan yang
kaku bisa membuat manusia (anak-anak) menjadi “rusak” oleh sistim pendidikan
formal.
Inti
pendapat Rousseau ialah tentang perkembangan diri yang bebas tanpa merugikan
diri sendiri dan orang lain. Hal ini mendukung perkembangan alamiah seorang
anak tanpa intervensi pendidikan sebab menurutnya pendidikan bisa membawa anak
pada kekacauan berpikir dan bertingkah laku. Anak-anak mesti dibiarkan untuk
bertumbuh sesuai bakatnya tanpa perlu menempuh pendidikan formal.
Radikalisme
agama, ujaran kebencian yang gemar dilakukan oleh generasi milenial
berpendidikan atau para pemuka agama bisa menjadi contoh yang tepat bagi
gagalnya sebuah sisitim pendidikan. Oleh karena itu kritikan rousseau mesti
dibaca melalui konteks pengalaman seperti ini.
Kedua,
lembaga-lembaga pendidikan mesti meningkatkan wawasan berbudaya lokal, misalnya,
optimalisasi mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok). Melaluinya, wawasan generasi
milenial semakin bersih dari stimulus eksternal seperti radikalisme agama,
primordialisme sempit dan konsep dekstruktif lainnya yang berusaha melumpuhkan
nalar kritis generasi milenial NTT.
Budaya
lokal adalah identitas dasar yang mengikat semua orang NTT. Dari segi perbedaan
agama misalnya, saya menganjurkan lembaga-lembaga pendidikan khususnya yang
berbasis agama untuk menyediakan waktu yang cukup bagi generasi milenial untuk
menggeluti teologi agama tradisional suku-suku yang ada di NTT – selain
menggeluti teologi agama samawi yang tentunya memiliki perbedaan mendasar
walaupun mempunyai muara yang barangkali sama.
Maksudnya,
generasi milenial NTT yang lahir dari
budaya lokal khas daerahnya masing-masing mampu memahami lebih mendalam konsep
agama tradisional yang ada dalam budayanya sehingga ada keseimbangan dalam
memahami konsep religiusitas lain yang berbeda. Saya mengangkat ini sebab
perbedaan teologi agama samawi seringkali menjadi nomor satu patologi sosial.
Ketiga, Generasi milenial mesti merasa bangga sebagai orang NTT yang kurang-lebih sudah mampu memproduksi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup. Kebanggaan ini mesti diwujudkan secara riil dalam berbagai bidang, misalnya kecerdasan melalui literasi, organisasi lintas perbedaan, melahirkan ide konstruktif demi terwujudnya NTT yang sejahtera, partisipasi sosial-politik, perjuangan emansipasi, bertingkah laku baik, memelihara alam, produktivitas dan aktivitas positif lainnya yang menjadi fondasi baginya untuk membangun hidup berpancasila di NTT tercinta demi Indonesia maju. Bukan hanya itu, hal yang terpenting ialah generasi milenial juga mesti mewartakan ide nasionalisme melalui infrastruktur kebudayaan lokal khas NTT. (RO/Admin)
Catatan:
Artikel ini terpilih sebagai terbaik ke 2 dalam lomba Menulis Buku Pancasila
dalam Perspektif Kaum Milenial yang diselenggarakan oleh Pemerintah NTT (2020)