Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Unik, Ini Nama Asal-Usul Suku Bangsa Kedang di Lembata


Oleh Antonius Rian Odel

Suku bangsa Kedang terdapat di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Suku ini tidak termasuk dalam rumpun suku bangsa Lamaholot. Bahasa daerahnya berbeda dengan bahasa-bahasa di sekitarnya sebagaimana ditegaskan oleh Antropolog R. H. Barnes demikian: “East Flores and the three islands to the east, Solor, Adonara, and Lembata, are inhabited by a population which, everywhere except in Kedang, speaks the Solor or lamaholot language.”[1] Hal yang sama juga ditegaskan oleh Raymundus Rede Blolong.[2]

Sesuai dengan kepercayaan lokal setempat, asal-usul manusia awal suku bangsa Kedang berasal dari puncak gunung Uyelewun (keluar dari dalam tanah). Uyolewun adalah nama Leluhur yang melahirkan penduduk Kedang. Namun, selain mereka yang secara genealogis berasal dari Uyolewun, ada juga masyarakat Kedang yang Leluhurnya berasal dari luar wilayah Kedang. Mereka disebut sebagai Tene mua’ manu’ sama[3]

Misalnya, pedagang China datang ke Kedang dan menetap pertama kali di Kalikur pada tahun 1910 (Barnes, 1974:10). Menurut cerita yang beredar, Leluhur mereka datang ke Kedang karena ingin mencari tempat hunian baru. 

Penyebab kedatangan mereka bermacam-macam; ada yang datang ulah perang saudara juga ingin menyebarkan agama, berdagang atau karena alasan kekeluargaan dan lain-lain. Selain itu, sesuai mitos setempat, dikisahkan juga bahwa ada penduduk yang leluhurnya berasal dari lubang batu, dari pohon, air dan sebagainya.

Orang Kedang yang secara genealogis berasal dari leluhur Uyolewun memiliki silsila yang tersusun sistimatis sampai sekarang karena selalu diwariskan. Bukti asal-usul mereka ditandai dengan adanya Lapa’ Koda dan Leu tuan tene maya’.[4]

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa orang Kedang sesungguhnya sangat heterogen tetapi mampu membaur menjadi satu komunitas masyarakat.

Secara etimologis, nama suku bangsa Kedang berasal dari kata bahasa Kedang yaitu Edang yang sampai saat ini memiliki makna variatif. Mulanya disebut Edang tetapi kini, biasa disebut Kedang yang merupakan sebutan orang luar tentang Edang. Oleh karena itu, pada bagian awal ini, penulis memaparkan beberapa versi arti dari nama suku bangsa Kedang di Lembata.

Pertama, Kedang (Edang) berarti memukul musik tatong. E berarti “kami” dan dang berarti “memukul”. Jadi Edang berarti kami memukul musik tatong. Sebutan ini bertolak dari ungkapan Edang tatong lia namang, “kami memukul tatong untuk memuji dewa lia dalam tarian namang”. 

Lia merupakan nama salah satu bintang yang muncul pada pagi hari sebelum matahari terbit[5] dan diyakini sebagai dewa api, makanya tungku tempat untuk memasak disebut Lia matan, “sumber api”. Tatong merupakan musik tradisional Kedang yang terbuat dari bambu, dimainkan dengan cara dipukul atau dipetik. Selain itu, perlu diingat bahwa Edang juga adalah nama salah satu jenis musik tradisional Kedang, selain tatong.[6]

Kedua, Kedang berasal dari nama Edang Eor yang merupakan nama istri dari Uyolewun.[7] Oleh karena itu, sebagai rasa hormat, nama Edang disematkan pada nama suku bangsa Kedang secara umum sebagai ibu yang melahirkan sedangkan suaminya (Uyolewun) disematkan pada nama gunung Uyelewun. Uyelewun sendiri berarti hujan dan kampung atau tanah-air. Uye dari kata Wuya, “hujan” dan lewun dari kata leu, “Kampung”. 

Maka, Uyelewun berarti hujan dan kampung.[8] Menyebut kampung selalu berkaitan dengan tanah atau tempat tinggal. Hujan menurut orang Kedang adalah berkat dan tanah adalah kehidupan. Hujan dan tanah adalah dua kekuatan yang menjadikan orang Kedang tetap eksis.

Ketiga, selain dua versi di atas, ada juga versi lisan lain yang berkembang di tengah masyarakat Kedang. Kedang dikaitkan dengan nama Edang Aya’.[9] Secara harafiah, Edang Aya’ berarti pusat Kedang. Edang aya’ merupakan sebuah nama tempat yang terletak di Kampung Leu Hoe’, Kecamatan Omesuri. Orang-orang di sekitar tempat tersebut percaya bahwa tempat tersebut menjadi cikal bakal nama Kedang. 

Sebab, di tempat itulah salah satu Leluhur besar Kedang yaitu Pulo Lama Le’ang (Lomblen) menetap. Menurut cerita populer di Kedang, Pulo Lama Le’ang kemudian disematkan pada nama Pulau Lomblen yang sekarang sudah berganti nama menjadi Lembata.[10]Diceritakan bahwa dahulu kala di Edang Aya' ada sebuah pohon ajaib milik Pulo Lamale'ang yang disebu ai lolon tola, "daunnya menjadi sarung, bunganya menjadi permata, tangkainya menjadi gading. Pohon ini juga disebut sebagai ai Edang Aya'/ Pohon Edang Aya'.

Kelima, berdasarkan refleksi penulis, Kedang barangkali berasal dari kata Ebang. Ebang adalah rumah adat suku bangsa Kedang yang multifungsi. Selain sebagai tempat musyawarah adat, juga sebagai lumbung pangan dan fungsi lainnya. Dengan demikian, menurut penulis, Kedang (Edang) adalah rumah bersama yang di dalamnya semua penduduk Kedang bersatu padu dan di dalam rumah itu, semua orang Kedang mendapatkan kehidupan (Lumbung makanan).

Bertolak dari semua versi di atas – terlepas dari benar dan salah – dapat dipahami bahwa sampai saat ini, makna tunggal dari nama suku bangsa Kedang belum absah dan diakui secara kolektif di kalangan masyarakat Kedang sendiri. Masing-masing tetua Kedang memiliki referensi yang berbeda tentang Kedang. Hal ini menjadi sebuah kesulitan kronis yang menghambat penulis untuk memberi kesimpulan tentang makna dari nama suku bangsa dengan bahasanya yang unik tersebut.

Saat ini, penduduk Kedang mendiami wilayah Kabupaten Lembata bagian timur tepatnya di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri. Jumlah penduduk Kedang sesuai data sensus penduduk tahun 2019[11] berjumlah 41.136 Jiwa. Perinciannya, Kecamatan Omesuri berjumlah 19.280 dan Buyasuri 21.856 Jiwa. 

Luas wilayah Kecamatan Omesuri: 169,91 Km2 dan Buyasuri: 104,26 Km2. Bagian utara berbatasan dengan laut Flores, Timur dengan selat Marica, Kabupaten Alor, selatan dengan laut Sawu dan barat dengan Kecamatan Lebatukan. Pada tahun 2019, tercatat jumlah Desa di Kedang sebanyak 42 Desa. Terdapat 22 Desa di Kecamatan Omesuri dan 20 Desa di Buyasuri.[12]

Sistim Kepercayaan

Sebelum kehadiran agama Islam dan Kristen di Kedang, sistim kepercayaan tradisional sudah dipraktikkan oleh para Leluhur Kedang. Mereka percaya kepada Wujud Tertinggi yang disebut sebagai Nimon Rian Arin Bara’, “Tuan terbesar”. Namun, perlu diketahui bahwa nama Wujud Tertinggi dalam kepercayaan masyarakat lokal Kedang memiliki banyak sebutan dengan makna yang berbeda – akan dibahas di lain waktu.

Adapun beberapa bentuk riil kepercayaan tradisional Kedang direalisasikan melalui beberapa jenis ritual seperti Poan Kemer, Ame’ sabong dan sebagainya. Ritual-ritual ini bisa dilakukan jika mendapat izin dari Nimon Rian Arin Bara’ dan Tuan Wo’, “Leluhur Kedang.” 

Makanya, sebelum sebuah ritual dilakukan, molan akan menyebut nama Wujud Tertinggi dan mengundang kehadiran para Leluhur untuk merestui ritual tersebut. Biasanya, dalam sebuah ritual adat, mereka mengurbankan hewan sebagai tumbal, misalnya ayam, babi dan kambing. Tempat berlangsungnya sebuah ritual biasa dilakukan di tempat-tempat tertentu, misalnya di kampung lama, di bawah pohon rita[13], atau juga dilakukan di halaman rumah.

Selain sistim kepercayaan tradisional seperti di atas, saat ini, masyarakat Kedang juga menganut paham agama Islam, Kristen dan Hindu.

Tabel 2.1.2 Jumlah Penganut Agama[14]

 

Islam

Katolik

Protestan

Hindu

Omesuri

8.746

10.500

70

5

Buyasuri

11.909

10.199

30

-


Walaupun demikian, secara sosial, penduduk Kedang hidup dengan toleransi yang tinggi, apalagi toleransi religius. Muslim, Hindu dan Kristen tidak pernah konflik fisik gara-gara agama. Mereka selalu bersatu karena dari sisi genealogis, dilahirkan oleh Leluhur Uyelewun maupun diikat dengan spirit filosofis yang diwariskan oleh Leluhur misalnya, one’ ude’ laleng hama, “satu keinginan dan satu hati”, ebeng we’ bora’ we’, “saling menjaga supaya tidak ada perpecahan” dan seterusnya.

 



[1] R. H. Barnes, op. cit., p. 4.

[2] Raymundus Rede Blolong, Dasar-Dasar Antropologi; Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Ende: Penerbit N usa Indah, 2012), hlm. 72.

[3] Tene Mua’ manu’ sama berarti orang-orang yang baru datang ke Kedang. Mereka disebut sebagai orang yang terdampar. Mereka datang membawa perahu (berlayar) dan diterima sebagai saudara sendiri, misalnya dari Lepan Batan, Seram-Maluku, Bajo, China dan seterusnya.

[4] Lapa’ Koda berarti batu mesbah, simbol keterikatan darah turunan yang satu dan sama dari seorang leluhur yang menjadi pencetus berdirinya sebuah klan. Hasil wawancara dengan Emanuel Ubuq, Pegiat Budaya Edang, per telepon seluler, pada 15 Oktober 2020. Batu tersebut menjadi dasar atau fondasi berdirinya sebuah klan di Kedang. Lapa’ berasal dari kata Lapa, “memangku, menopang atau melindungi.” Koda berarti warisan lisan dari leluhur tentang sejarah sebuah klan. Dengan demikian, Lapa’ Koda berarti batu simbolis-sakral yang melindungi suku/klan agar tetap berdiri sesuai dengan warisan dari Leluhur tentang kebenaran dari Klan tersebut. Leu Tuan Tene Maya’, “kampung lama tempat berlabuhnya perahu (klan).” Kata perahu mengartikan perjalanan leluhur Kedang dari puncak gunung Uyelewun ke lereng dan mencari tempat hunian baru untuk mendirikan suku/klan.

[5] Bdk. R. H. Barnes, op.cit., pp. 15. Versi pertama ini diterima oleh mayoritas orang Kedang. Dalam penjelasan selanjutnya, Barnes mengatakan, Lia selain sebagai nama bintang pagi, ia juga disematkan sebagai salah satu gelar bagi Allah. Biasanya, dalam bahasa adat setempat sering disebut Lia Hura’ manusia, “Lia (Allah) menciptakan manusia.” Menurut molan Amo Hola Orolaleng, Lia juga disebut sebagai bapak dari semua molan di Kedang. Ia menjadi dewa kesembuhan. Secara mikrokosmos, Lia juga adalah nama Leluhur orang Kedang.

[6] Ibid.

[7] Wawancara dengan bapak Beda Pati, Penutur Sejarah Kedang, pada 15 Juni 2019 di Hule, Desa Nilanapo.

[8] Wawancara dengan Abdul Redjad raya Wulakada, Pegiat Budaya Edang, per telepon seluler, pada 20  Oktober 2020.

[9] Wawancara dengan Satu Payong, tetua suku Leu Werun di Desa Wowong, pada 17 Juni 2019.

[10] Bdk. R. H. Barnes, op. cit., pp. 3-4. Menurut penelitian Barnes, Pulo Lama Le’ang adalah seorang pahlawan dari gunung yang turun ke pantai. Saat itu, ia berjumpa dengan orang Belanda yang baru saja tiba di Pulau Lembata. Ia memperkenalkan namanya sebagai Lama Le’ang. Kemudian karena dialek orang Belanda makanya, sebutan Lama Le’ang berubah menjadi Lomblen. Namun demikian, dapat dianalisis bahwa Lama Le’ang tersebut tentu saja berbeda dengan Lama’le’ang dalam mitos Peni Muko Lolon yang diduga tempatnya di Edang Aya’. Sebab, mitos tersebut ceritanya sangat jauh sebelum kehadiran orang Belanda di Lembata. Artinya, identitas Lama Le’ang sendiri masih kontroversial. Apakah Lama Le’ang yang dimaksud adalah seorang pahlawan sesuai hasil penelitian Barnes atau ia yang ada dalam mitos Peni Muko Lolon? Penulis belum bisa memberi kesimpulan.

[11] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata (Lewoleba: BPS Kabupaten Lembata, 2020), hlm. 24.

[12] Ibid.,hlm. 10.

[13] Pohon Rita dilihat sebagai pohon kehidupan menurut orang Kedang. Biasanya, jika ada pasangan suami-istri yang mandul atau tidak punya anak laki-laki, mereka akan mengadakan ritual Kura’ Ite Dahu’ ta’, “Kupas kulit pohon rita dan meminta air kelapa.” Artinya, kupas kulit pohon rita supaya tetesan nanahnya mengalir sebagai simbol sperma dan air buah kelapa sebagai simbol kesuburan perempuan. Pada ritual ini, Nama Nimon Rian arin Bara’ selalu disebut pertama dan sebagai sumber harapan.

[14] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata, op. cit., hlm. 58.