Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

LEGENDA ILI RIAN-WATA RIAN DAN KONSEP WELA PARO WATAN LOGEQ (Bagian 2/habis)

 

Oleh Pius Kulu Beyeng


WELA PARO WATAN LOGEQ

 

Dalam legenda Ilirian Watarian, terkandung konsep wilayah hunian. Ilirian menempati atau menguasai wilayah pedalaman atau gunung dan watarian menghuni atau menguasai wilayah pesisir atau pantai.

 Watarian merepresentasikan kemajuan, karena terbuka dengan dunia luar sebagai akibat dari perdagangan dan pergaulan dengan dunia luar. Sedang Ilirian mewakili wilayah yang masih terisolir, tertutup dengan dunia luar dan terbelakang. Watarian menggeluti dunia usaha sedang Ilirian dengan mata pencaharian bercocok tanam atau pertanian. Dengan latar belakang yang demikian, kedua pihak sesungguhnya saling bergantung, saling membutuhkan, saling melengkapi.

 Konsep pesisir - pedalaman merupakan sesuatu yang jamak, yang membudaya di masyarakat adat Lamaholot termasuk di dalamnya masyarakat Kedang, anak cucu turunan Buyasuri dan Omesuri. Istilah Watan - Kiwang atau Wela Watan adalah ungkapan keberadaan dua kelompok hunian yakni kelompok pedalaman dan pesisir.

 Dalam konteks Kedang dan juga sebagian dari Wilayah Lamaholot, Watan diidentikan dengan penduduk yang beragama muslim dan pedalaman yang masih beragama purba. Dalam budaya Kedang dahulu disebutkan sebagai "iselang waq tawang" dan kapir, dan sejalan dengan perkembangan kemudian menjadi nasrani (katolik). Waq tawang menghuni pesisir sedang kapir atau kemudian sarani di pedalaman.

 Beberapa catatan pengantar perlu disampaikan disini bahwa sebelum tahun 1915 wilayah Kedang atau Edang berada dalam kegelapan. Di bidang pendidikan, Kedang merupakan yang paling bungsu dimasuki dunia pendidikan dibanding wilayah lain di pulau Lomblen.

 Pendidikan atau sekolah pertama masuk Kedang pada tahun 1925 di Aliuroba dengan guru pertama Guru Sinu Daproma, putera Lamalera. Guru Sinu datang ke Kedang lewat pelabuhan Bu'laleng dan dijemput oleh utusan dari Rian baraq atau kapitan Kedang jaman itu. Sebenarnya sejarah mencatat sekolah pertama dibuka di Kekar pada tahun 1915, dengan guru pertama guru Oti Riberu. Namun, sekolah itu kemudian hilang ditelan sejarah.

 Bersamaan dengan masuknya sekolah pertama, masuk juga agama nasrani yang dibawah oleh guru Sinu yang beragama katolik.

Sedang agama islam masuk pertama kali di Kedang, berdasarkan catatan bapa guru Sio Amuntoda, kurang lebih pada tahun 1915, yang dibawah oleh seorang China dari Makasar, yang pintar membaca Al'Qur'an (bahasa Kedang "jagoq mangaji"), yang biasa dipanggil dengan nama "Babaq Makasar", sepuluh tahun lebih awal dari masuknya agama nasrani atau katolik.

 Secara alamiah agama islam berkembang di pesisir dan agama nasrani di pedalaman. Tumbuh pula semacam pembagian kerja ekonomi wilayah sesuai karakteristik masing masing. Pesisir dengan ketrampilan menenun dan perdagangan. Pedalaman dengan bercocok tanam bahan makanan. Hasil tenunan dan barang dagangan lain disiapkan oleh masyarakat pesisir sedang bahan makanan oleh pedalaman.

 Masyarakat pesisir menjualnya ke pedalaman yang ditukar dengan bahan makanan. Dan hubungan ekonomi fungsional itu berjalan secara alamiah sampai bergenerasi. Suatu hubungan saling bergantung dan membutuhkan.

 Tahun 1925 guru Sinu tiba di Kedang dan membuka sekolah pertama di Peulaqa (Aliuroba sekarang). Rian baraq atau Kapitan Kedang adalah seorang berpikiran maju dan mempunyai minat yang besar di bidang pendidikan guna memajukan masyarakat Kedang. Beliau menyuruh utusanya menjemput guru Sinu di Buqlaleng dan menghantarkannya ke Peulaqa.

 Bapa guru Sinu menjalin persahabatan dengan Rianbaraq, yang mengharapkan agar akan datang lagi banyak guru di Kedang untuk memajukan masyarakatnya. Ada dua hal penting dilakukan oleh kedua tokoh tersebut yang dapat dicatat sejarah.

 Pertama, pembagian wilayah penyebaran agama. Kedua tokoh itu menyepakati agama islam menyebarkan agama di pesisir sedang nasrani di pedalaman. Kita tidak tahu dari mana kedua tokoh tersebut mendapatkan gagasa itu. Namun, gagasa itu mirip dengan perjanjian antara Belanda yang beragama Protestan dengan Portugis yang beragama Nasrani di tahun 1800-an, tentang pembagian wilayah agama atas pulau Timor, di mana wilayah TTS dan Kupang wilayah protestan dan TTU dan Belu wilayah nasrani atau katolik.

 Oleh perkembanga kemajuan dikemudian hari, apa yang disampaikan ini, sama halnya dengan pulau Timor, tinggal menjadi sejarah masa lalu.

 Kedua, tata hubungan ekonomi antara wela dan watan yang selama ini berjalan secara alamiah, ditingkatkan menjadi Aliansi Tradisionil atau apa yang bahada Kedang di sebut dengan "sayin bayan" atau yang dalam bahasa Lamaholot disebut "bela baja." Hubungan saling mengidupkan, wela memberi makan, watan memberi pakai, diangkat dan dikukuhkan menjadi sayin bayan wela watan yakni "Wela Paro Watan Logeq". Seiring dengan kemajuan, kearifan lokal sayin bayan inipun juga tinggal menjadi bagian dari sejarah Kedang masa lalu.


BACA JUGA:

sayin-bayan-kedang-dan-kerajaan-pandai-di-pantar


 Dapat ditambahkan bahwa aliansi tradisionil atau sayin bayan tidak hanya antara wela dan watan. Kedang juga mempunyai hubungan sayin bayan atau bela baja dengan Alor dan Ile Ape. Orang Alor yang datang ke Kedang, jika lapar boleh memetik jagung, kelapa atau pisang untuk makan. Jika ditanya oleh pemiliknya tinggal memberi tahu "kami orang Alor" dan selesai urusan.

 Demikian juga sebaliknya kalau orang Kedang ke Alor. Pantangannya tidak boleh dibawah atau dijual. Demikian juga antara orang Iwangkariq (Ileape). Misalnya orang Kedang ke Lewoleba yang merasa haus boleh petik kelapa di Onga, kalau ditanya tinggal memberi tahu "e edang ." Demikian.juga sebaliknya jika orang Iwangkariq ke Kedang dapat melakukan hal yang sama. Dan apabila ada yang tanya tinggal diberitahu "kame iwangkari" atau "kame Lewotolok".