(Berpikir Bersama Emmanuel Levinas)
|
Oktovianus Olong |
b) The face is the evidence that makes evidence
possible
Wajah orang-orang yang
menderita covid-19 adalah bukti bahwa mereka sedang mengalami masalah. Wajah
mereka menampilkan realitas yang mereka alami. Wajah mereka juga menjadi bukti
suara meminta tolong. Teriakan meminta tolong mereka untuk kita secara nyata
ditampilkan melalui realitas kesusahan mereka. Pengalaman pahit menimpa hidup
mereka dan mereka membutuhkan kita untuk terlibat dalam kehidupan mereka.
Kesusahan mereka menuntut pembuktian sosial kita akan peristiwa duka mereka.
Wajah susah mereka adalah bukti bahwa mereka dalam situasi terjepit sekaligus
mengundang kita untuk menunjukkan tanggung jawab. Seperti duka mereka yang
terbukti melalui realitas hidup, tanggung jawab kita pun hendaknya dibuktikan
melalui langkah konkrit yang kita ambil. Tetaplah di rumah, menghindari
keramaian, selalu pakai masker bila keluar rumah, dan selalu rajin cuci tangan.
Kita patut
mengapresiasi para medis yang telah menunjukkan kepeduliannya terhadap para
korban. Kita menghargai perjuangan mereka dalam membuktikan tanggung jawab
mereka akan penderitaan sesama.. Mereka telah menampilkan tanggung jawab etis.
Realitas atau wajah kusut para penderita telah mengganggu kenyamanan diri
mereka sehingga mereka berhasil menunjukkan kepedulian mereka.
Kita juga terus
mengganggu kenyamanan banyak pihak yang karena ulah mereka realitas dunia
semakin jauh dari kata sejahtera. Mereka menimbun kekayaan dan mengusahakan
kebahagiaan sendiri lalu meninggalkan luka bagi sesama. Wajah rakyat sederhana
semakin murung karena ulah mereka yang tidak perna tobat dengan tamak akan
kuasa dan kekayaan. Berhadapan dengan situasi seperti ini kita hadir sebagai
wajah kebenaran, wajah yang menjanjikan senyum dan suka cita bagi mereka yang
menjadi korban. Kita diarahkan untuk berbuat sesuatu yang etis. Kita
membuktikan bahwa semua orang memiliki hak untuk merangkul kebahagiaan.
Tuhan dalam diriNya
memiliki dua kebenaran. Ia adalah wajah yang kelihatan dan wajah yang tidak
kelihatan. Tuhan yang kelihatan itu nyata dalam sesama, lingkungan sekitar, dan
wahyu publik. Dia hadir sebagai “yang lain”. Wajah yang kelihatan berarti hadirnya yang
bisa diindrai mata. Ia nyata dalam hidup harian dan rutinitas manusia. Pada
saat sekarang, Tuhan hadir sebagai “yang lain” itu secara nyata ada dalam diri
mereka para korban virus corona. Tuhan hadir dalam diri mereka dan senantiasa
mengganggu kenyamanan diri kita agar berbuat sesuatu untuk mereka. Kita dipaksa
oleh realitas murung itu untuk menampilkan tanggung jawab etis kita.
Wajah Tuhan yang tidak
kelihatan itu hanya bisa diketahui pada kebahagiaan kekal. Saat sesudah kebangkitan
itulah yang menjadi momen untuk melihat Allah secara nyata dan membangun dialog
bersamanya. Wajah Allah yang tidak kelihatan itulah yang membuat kita selalu
memiliki kerinduan. Kita mempunyai kerinduan untuk melihat dan mengalaminya.
Kita rindu untuk berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan itulah yang mengerakkan kita
untuk mulai menemui Tuhan melalui “yang lain”. Kerinduan kita untuk berjumpa
Allah akan terjawab bila kita melakukan sesuatu yang berarti untuk yang lain
dalam dunia mulai kini dan di sini. Perbuatan kita di dunia sangat menentukan
hidup kita nanti di dunia akhirat. Oleh karena itu, “yang lain” adalah ukuran
bagi kita dalam mewujudkan mimpi untuk menatap wajah Allah. Kita dipanggil
untuk berpihak secara psikologis dan terlibat dalam menangulangi penyebaran
virus corona agar wajah Allah yang penuh cinta semakin tampak dalam hidup kita.
Bahasa adalah unsur
yang penting dalam kebersamaan. Bahasa sebagai sarana yang memungkinkan kita
untuk membangun dialog dengan sesama, mengetahui jalan pikiran seseorang, serta
mengarahkan orang pada kebenaran. Bahasa singkatnya sangat membantu manusia
dalam mengisyaratkan.
Bahasa juga dapat menjadi sarana untuk mendatangkan benci dan ketidakadilan.
Bahasa dapat menimbulkan luka, membangkitkan amarah, serta mengarahkan orang
pada dosa. Bahasa di sini memiliki peran ganda. Ia bagaikan jendela yang bisa
mendatangkan udara segar sekaligus menghadirkan penyakit dalam sebuah ruangan.
Penting bagi kita untuk
menggunakan bahasa sesuai aturan mainnya. Artinya, kita menggunakan bahasa
sebagai sarana untuk membawa orang pada keselamatan. Kita menggunakan bahasa
sebagai sarana untuk menghadirkan suara Allah yang bersabda kepada manusia. Bahasa
digunakan untuk membangun dialog kasih dengan orang lain dan lingkungan
sekitar. Melalui bahasa, kita membangun kerajaan Allah di dunia. Bahasa menjadi
alat untuk merangkul sesama kita yang menderita dan mewartakan kabar baik untuk
mereka yang selalu diperlakukan tidak manusiawi. Bahasa adalah lahan yang tepat
untuk menumbuhkan benih kebenaran dan etika. Kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan
sesama adalah fokus setiap kata yang kita ucapkan. Kita mewartakan kabar baik
dan sabda bahagia kepada sesama melalui bahasa yang kita gunakan.
Dewasa ini, bahasa
kadang menjadi sarana pecahnya konflik. Orang cenderung memperalat bahasa untuk
menghadirkan berita bohong. Penyebaran berita bohong di tengah wabah corona
adalah praktik pentimpangan berbahasa. Banyak orang menyusun bahasa yang
kelihatan benar agar dapat mencapai puncak mimpinya. Peralihan fungsi bahasa
ini mendorong kita untuk berpikir lebih kritis. Kita dipanggil dalam kelompok
yang melawan para penyebar berita bohong yang menggunakan bahasa untuk
menghilangkan damai dan sejahtera di bumi. Kita hadir sebagai suara kebenaran
dan suara Sang Sabda.
Penutup
Persoalan
tentang manusia belum juga berakhir. Covid-19 menjadi persoalan yang aktual
sekarang ini. Persoalan hidup tidak perna final karena kita hidup bersama orang
lain. Kita hidup dalam lingkungan dengan bermacam ide dan prinsip hidup.
Keutuhan diri kita tidak persis sama dengan orang lain, sehingga kadang
mengalami benturan. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dielak. Jalan utama
untuk keluar dari persoalan ini hanya bergatung pada pribadi kita. Jika dalam
diri kita sikap pengertian dan memahami perbedaan lebih dominan, maka keadaan
tidak semakin dipersulit. Dengan membangun komunikasi dan dialog yang baik
dengan sesama, semua benturan itu semakin berkurang. Parahnya bila persoalan
yang ada adalah hasil dari konsep/rancangan manusia. Kenyataan ini berarti
ke-aku-an yang ditonjolkan. Kepentingan pribadi selalu ada pada nomor urut
pertama. Pribadi seperti ini lebih banyak menggunakan atau mengorbankan orang
lain agar mampu mencapai puncak yang dituju. Itu artinya nilai etis sedang
minus.Di
tengah wabah corona, semua orang dipanggil untuk mewartakan kebenaran. Kebohongan
harus dilawan. Suara Sang Sabda harus dihadirkan untuk melepaskan sesama kita
dari belenggu duka. Wajah penderitaan sesama mesti kita ganti dengan segudang
senyum. Wajah Allah dan suara Tuhan harus dihadirkan di atas bumi. Kita semua
hendaknya selalu saling mengingatkan bahwa Tuhan itu ada dan nyata melalui
sesama dan lingkungan hidup kita. Setiap kita dalam diri membawa Allah yang
tampil sebagai suara hati, maka mempunyai tanggung jawab etis untuk bersuara
tentang kebenaran. Etika mesti mendapat tempat pertama dan utama dalam
membangun kehidupan bersama. Seruan Emmanuel Levinas itu hendaknya
menginspirasi kita semua.
Daftar
Pustaka
Baghi,
Felix. Alteritas: Pengakuan,
Hospitalitas, Persahabatan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.
J.
Pieniezek. “Filsafat Ketuhanan” (ms.).
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Maumere, 1989.
Bertens,
Kees. Filsafat Barat Abad XX.
Jakarta: Gramedia, 1985.
Leahy,
Louis, Siapakah Manusia?. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2007.
Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity, Penerj. Alphonso
Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1990.
Yuana, Kumara. 100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM - Abad 21 yang
Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.