Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Keberpihakan dan Keterlibatan di Tengah Pandemi Covid-19 (bagian 2/habis)

  

(Berpikir Bersama Emmanuel Levinas)

Oktovianus Olong
b) The face is the evidence that makes evidence possible [2]

Wajah orang-orang yang menderita covid-19 adalah bukti bahwa mereka sedang mengalami masalah. Wajah mereka menampilkan realitas yang mereka alami. Wajah mereka juga menjadi bukti suara meminta tolong. Teriakan meminta tolong mereka untuk kita secara nyata ditampilkan melalui realitas kesusahan mereka. Pengalaman pahit menimpa hidup mereka dan mereka membutuhkan kita untuk terlibat dalam kehidupan mereka. Kesusahan mereka menuntut pembuktian sosial kita akan peristiwa duka mereka. Wajah susah mereka adalah bukti bahwa mereka dalam situasi terjepit sekaligus mengundang kita untuk menunjukkan tanggung jawab. Seperti duka mereka yang terbukti melalui realitas hidup, tanggung jawab kita pun hendaknya dibuktikan melalui langkah konkrit yang kita ambil. Tetaplah di rumah, menghindari keramaian, selalu pakai masker bila keluar rumah, dan selalu rajin cuci tangan.

Kita patut mengapresiasi para medis yang telah menunjukkan kepeduliannya terhadap para korban. Kita menghargai perjuangan mereka dalam membuktikan tanggung jawab mereka akan penderitaan sesama.. Mereka telah menampilkan tanggung jawab etis. Realitas atau wajah kusut para penderita telah mengganggu kenyamanan diri mereka sehingga mereka berhasil menunjukkan kepedulian mereka.


Kita juga terus mengganggu kenyamanan banyak pihak yang karena ulah mereka realitas dunia semakin jauh dari kata sejahtera. Mereka menimbun kekayaan dan mengusahakan kebahagiaan sendiri lalu meninggalkan luka bagi sesama. Wajah rakyat sederhana semakin murung karena ulah mereka yang tidak perna tobat dengan tamak akan kuasa dan kekayaan. Berhadapan dengan situasi seperti ini kita hadir sebagai wajah kebenaran, wajah yang menjanjikan senyum dan suka cita bagi mereka yang menjadi korban. Kita diarahkan untuk berbuat sesuatu yang etis. Kita membuktikan bahwa semua orang memiliki hak untuk merangkul kebahagiaan.

c)      God is the other[3].

Tuhan dalam diriNya memiliki dua kebenaran. Ia adalah wajah yang kelihatan dan wajah yang tidak kelihatan. Tuhan yang kelihatan itu nyata dalam sesama, lingkungan sekitar, dan wahyu publik. Dia hadir sebagai “yang lain”.  Wajah yang kelihatan berarti hadirnya yang bisa diindrai mata. Ia nyata dalam hidup harian dan rutinitas manusia. Pada saat sekarang, Tuhan hadir sebagai “yang lain” itu secara nyata ada dalam diri mereka para korban virus corona. Tuhan hadir dalam diri mereka dan senantiasa mengganggu kenyamanan diri kita agar berbuat sesuatu untuk mereka. Kita dipaksa oleh realitas murung itu untuk menampilkan tanggung jawab etis kita.


Wajah Tuhan yang tidak kelihatan itu hanya bisa diketahui pada kebahagiaan kekal. Saat sesudah kebangkitan itulah yang menjadi momen untuk melihat Allah secara nyata dan membangun dialog bersamanya. Wajah Allah yang tidak kelihatan itulah yang membuat kita selalu memiliki kerinduan. Kita mempunyai kerinduan untuk melihat dan mengalaminya. Kita rindu untuk berjumpa dengan Tuhan. Kerinduan itulah yang mengerakkan kita untuk mulai menemui Tuhan melalui “yang lain”. Kerinduan kita untuk berjumpa Allah akan terjawab bila kita melakukan sesuatu yang berarti untuk yang lain dalam dunia mulai kini dan di sini. Perbuatan kita di dunia sangat menentukan hidup kita nanti di dunia akhirat. Oleh karena itu, “yang lain” adalah ukuran bagi kita dalam mewujudkan mimpi untuk menatap wajah Allah. Kita dipanggil untuk berpihak secara psikologis dan terlibat dalam menangulangi penyebaran virus corona agar wajah Allah yang penuh cinta semakin tampak dalam hidup kita.

d)      The word is a window[4].

Bahasa adalah unsur yang penting dalam kebersamaan. Bahasa sebagai sarana yang memungkinkan kita untuk membangun dialog dengan sesama, mengetahui jalan pikiran seseorang, serta mengarahkan orang pada kebenaran. Bahasa singkatnya sangat membantu manusia dalam mengisyaratkan[5]. Bahasa juga dapat menjadi sarana untuk mendatangkan benci dan ketidakadilan. Bahasa dapat menimbulkan luka, membangkitkan amarah, serta mengarahkan orang pada dosa. Bahasa di sini memiliki peran ganda. Ia bagaikan jendela yang bisa mendatangkan udara segar sekaligus menghadirkan penyakit dalam sebuah ruangan.


Penting bagi kita untuk menggunakan bahasa sesuai aturan mainnya. Artinya, kita menggunakan bahasa sebagai sarana untuk membawa orang pada keselamatan. Kita menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menghadirkan suara Allah yang bersabda kepada manusia. Bahasa digunakan untuk membangun dialog kasih dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Melalui bahasa, kita membangun kerajaan Allah di dunia. Bahasa menjadi alat untuk merangkul sesama kita yang menderita dan mewartakan kabar baik untuk mereka yang selalu diperlakukan tidak manusiawi. Bahasa adalah lahan yang tepat untuk menumbuhkan benih kebenaran dan etika. Kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan sesama adalah fokus setiap kata yang kita ucapkan. Kita mewartakan kabar baik dan sabda bahagia kepada sesama melalui bahasa yang kita gunakan.


Dewasa ini, bahasa kadang menjadi sarana pecahnya konflik. Orang cenderung memperalat bahasa untuk menghadirkan berita bohong. Penyebaran berita bohong di tengah wabah corona adalah praktik pentimpangan berbahasa. Banyak orang menyusun bahasa yang kelihatan benar agar dapat mencapai puncak mimpinya. Peralihan fungsi bahasa ini mendorong kita untuk berpikir lebih kritis. Kita dipanggil dalam kelompok yang melawan para penyebar berita bohong yang menggunakan bahasa untuk menghilangkan damai dan sejahtera di bumi. Kita hadir sebagai suara kebenaran dan suara Sang Sabda.

Penutup


Persoalan tentang manusia belum juga berakhir. Covid-19 menjadi persoalan yang aktual sekarang ini. Persoalan hidup tidak perna final karena kita hidup bersama orang lain. Kita hidup dalam lingkungan dengan bermacam ide dan prinsip hidup. Keutuhan diri kita tidak persis sama dengan orang lain, sehingga kadang mengalami benturan. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dielak. Jalan utama untuk keluar dari persoalan ini hanya bergatung pada pribadi kita. Jika dalam diri kita sikap pengertian dan memahami perbedaan lebih dominan, maka keadaan tidak semakin dipersulit. Dengan membangun komunikasi dan dialog yang baik dengan sesama, semua benturan itu semakin berkurang. Parahnya bila persoalan yang ada adalah hasil dari konsep/rancangan manusia. Kenyataan ini berarti ke-aku-an yang ditonjolkan. Kepentingan pribadi selalu ada pada nomor urut pertama. Pribadi seperti ini lebih banyak menggunakan atau mengorbankan orang lain agar mampu mencapai puncak yang dituju. Itu artinya nilai etis sedang minus.

Di tengah wabah corona, semua orang dipanggil untuk mewartakan kebenaran. Kebohongan harus dilawan. Suara Sang Sabda harus dihadirkan untuk melepaskan sesama kita dari belenggu duka. Wajah penderitaan sesama mesti kita ganti dengan segudang senyum. Wajah Allah dan suara Tuhan harus dihadirkan di atas bumi. Kita semua hendaknya selalu saling mengingatkan bahwa Tuhan itu ada dan nyata melalui sesama dan lingkungan hidup kita. Setiap kita dalam diri membawa Allah yang tampil sebagai suara hati, maka mempunyai tanggung jawab etis untuk bersuara tentang kebenaran. Etika mesti mendapat tempat pertama dan utama dalam membangun kehidupan bersama. Seruan Emmanuel Levinas itu hendaknya menginspirasi kita semua.

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Baghi, Felix. Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.

J. Pieniezek. “Filsafat Ketuhanan” (ms.). Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Maumere, 1989.

Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1985.

Leahy, Louis, Siapakah Manusia?. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007.

Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity, Penerj. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1990.

Yuana, Kumara. 100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.

 



[1] Emmanuel Levinas, op.cit. hal. 199.

[2]Ibid., hal. 204.

[3]Ibid., hal. 211.

[4]Ibid., hal. 205.

[5]Louis Leahy, Siapakah Manusia? (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 39.