Keberpihakan dan Keterlibatan di Tengah Pandemi Covid-19 (Bagian 1)
Berpikir Bersama Emmanuel Levinas
Manusia
adalah makluk yang mengada untuk orang lain. Manusia tidak dapat mengelak ada
bersama orang lain, terlibat dalam kebersamaan dengan orang lain, dan menolak keterlibatan
orang lain dalam hidupnya. Kitab Suci Gereja Katolik mencatat kenyataan ini
sudah sejak manusia ada di dunia. Manusia diciptakan laki-laki dan perempuan
agar saling menolong dan melengkapi (bdk. Kej. 1:18). Manusia diciptakan untuk
masuk dalam persekutuan dan membangun hubungan interpersonal. Atas kenyataan
ini maka sebagai orang beriman, kita yakin dan percaya bahwa kebersamaan di
atas bumi ini adalah rencana dan karya Allah sendiri. Kebersamaan adalah
anugerah dari Allah supaya kita saling memberi arti dalam hidup. Tentu bukan
hanya kebersamaan fisik tapi juga psikologis. Pentingnya nilai kebersamaan menghendaki
kita untuk membuang sikap yang altruistis. Oleh karena itu, perhatian dan
dialog menjadi urgen.
Bila
menelusuri aneka refleksi tentang manusia, kita mendapati berbagai macam definisi
yang menarik. Manusia adalah binatang yang berakal budi mejadi salah satu
definisi yaang menarik. Bertolak dari definisi ini, kita mendapati dua
kemungkinan tentang manusia dalam hidup harian yakni kecenderungan aspek
binatangnya yang lebih mencolok atau akal budi yang lebih dominan. Dua kecenderungan
itu selalu ada ketika manusia ada bersama orang lain. Oleh karena itu,
pentingnya menentukan nilai-nilai atau norma-norma untuk mengatur kehidupan
bersama. Aturan yang dibuat mesti memperhatikan keadilan dan rasa memiliki
orang lain agar dapat mengarahkan manusia pada tujuan yang hendak dicapai yaitu
kebebasan batin dan kebahagiaan bersama. Emmanuel Levinas[1]
dalam pandangannya mengutarakan bahwa etika hendaknya menjadi filsafat yang
pertama. Filsafat dilihatnya bukan sekedar mencintai kebijaksanaan tetapi
kebijaksanaan dalam mencintai[2].
Dewasa
ini, perilaku manusia cenderung meminimalisir etika bahkan mengabaikan etika
dalam kehidupan bersama. Prinsip machiavellianisme[3]
bercokol kuat dalam pengembangan narasi hidup. Ada semangat radikalisme,
korupsi, kolusi, nepotisme, hingga pada penyebaran berita bohong. Parahnya
lagi, masih juga ada berbagai macam cara membohongi publik ketika situasi dunia
sedang tidak kondusif seperti sekarang ini. Meluasnya kasus kematian dan
ketakutan yang global akibat covid-19 belum juga menobatkan manusia. Kasus
penyebaran berita bohong tumbuh seperti jamur di musim hujan. Isu hoaks saat
pandemi corona sebagaimana dirilis Kementrian Informasi dan Komunikasi 17 Maret
2020 pukul 08:00 WIB totalnya 242 kasus. Berhadapan dengan kenyataan seperti
ini, kita patut menanyakan kebijaksanaan manusia dalam mencintai. Mengapa
manusia cenderung berperilaku tidak normatif atau cenderung mengabaikan etika?.
Buah-buah pemikiran Emmanuel Levinas dapat dijadikan jalan terang untuk keluar
dari persoalan di atas. Dalam tulisan ini, penulis mengutip beberapa ide dari
Levinas kemudian merefleksikannya. Ini merupakan salah satu cara untuk
menjawabi pokok persoalan di atas.
Keberpihakan Dan Keterlibatan Di
Tengah Pandemi Covid-19 dalam Alur Pemikiran Emmanuel Levinas
Berikut
ini beberapa buah pemikiran Levinas yang bisa dijadikan inspirasi lalu digaungkan
di tengah wabah corona:
a) I do not strunggle with a faceless
god, but I respond to his expression , to his relevation[4].
Allah itu ada[5].
Dialah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Menciptakan semua dalam
keadaan baik. Manusia menjadi ciptaan yang lebih unggul atau dalam bahasa
Allah, manusia dinilaiNya sebagai ciptaan yang sunguh amat baik (bdk. Kej.
1:26-31). Manusia dalam dirinya diberikan keunggulan oleh Allah yaitu akal budi
dan kehendak bebas sehingga dapat menjadi rekan kerja Allah. Manusia dengan
kebebasan yang ada padanya diharapkan untuk melindungi dan mengembangkan alam
ciptaan sesuai dengan kehendak Allah. Itulah idealnya. Namun, Allah tidak perna
memaksa manusia akan tanggung jawabnya ini. Manusia memiliki kebebasan dan
pilihan untuk melakukan atau mengabaikan. Sejarah mencatat bahwa kehendak bebas
kerapkali tidak digunakan manusia pada rel atau jalan Allah. Manusia lebih mengutamakan egonya, mengutamakan nafsunya
lalu membangkitkan perilaku menyimpang. Itulah yang disebut dosa. Manusia
merusak hubungannya dengan Allah, merusak hubungan dengan alam ciptaan dan
merusak hubungannya dengan diri sendiri. Manusia kadang menggunakan
kebebasaannya untuk meraih impiannya tanpa memandang sesama bahkan mengabaikan
Allah sendiri.
Akal budi yang dimiliki
manusia kadang salah difungsikan. Bukan hanya kehendak bebas tetapi akal budi
juga sering mendatangkan dosa. Dengan pengetauan yang dimiliki, manusia malah
tidak mengakui eksistensi Allah. Ia mengenakan dogma ateisme. Dewasa ini akal
budi bukan hanya merancang kemajuan dan kesejahteraan melainkan juga
menciptakan masalah bagi sesama dan lingkungan. Teori-teori konspirasi
menyuarakan kenyataan ini dengan jelas. Pada saat sekarang, teori ini yakin
bahwa virus corona (covid-19) diciptakan oleh segelintir elit global untuk
menguasai dunia. Terlepas dari benar dan salahnya teori ini, namun bila
dipandang dari sudut pandang teori ini, maka amat disayangkan perilaku manusia.
Mengunakan teknologi untuk menindas dan mencelakaan sesama.
Kenyataan-kenyataan di atas
membuktikan kegagalan manusia dalam memahami Allah sebagai sumber kebenaran.
Manusia tersesat dalam jalan penemuan pribadi Allah yang tidak beralamat jelas
seperti manusia. Manusia gagal merespons Allah yang sudah nyata melalui alam
semesta, Allah yang hadir dalam sesama, dan menolak suara Allah yang diam dalam
rumah dirinya. Manusia mengingkari penciptanya sendiri dan berlangkah menuju
titik gelap kehidupan. Kehendak bebas dan akal budi digunakan tidak lagi sesuai
maksud awal penciptanya. Manusia mulai merumuskan tujuannya sendiri yang
terpisah dengan rencana dan karya Allah.
Selama masih di dunia ini, kita
tidak perna malihat wajah Allah. Wajah itu akan kita lihat ketika kita sudah
meninggal. Itupun kalau kita selama di dunia selalu bergerak dalam ruangan
norma dan nilai sehingga kita diperkenankan untuk mengalami kebahagiaan surga.
Di atas planet ini, kita hanya bisa merespon ekspresinya sebagaimana telah
dikemukakan oleh Levinas. Allah hadir melalui semesta alam, hadir dalam
orang-orang di sekitar kita, hadir dalam wahyu publik (Kitab Suci dan tradisi
iman), dan hadir melalui suara hati kita. Kita merespon kehadiran Allah dengan
membangun dialog yang baik dengan semuanya itu. Sesama yang tampak adalah wajah
Allah yang mengundang kita untuk melakukan sesuatu yang etis. Kita dipanggil
untuk bertanggungjawab atas wajah Allah yang nyata dalam kehidupan kita
khususnya dalam diri para korban virus corona. Kita mendukung mereka dengan
tidak memberikan stigma yang buruk sehingga mereka cepat sembuh dari penyakit
yang dialaminya. Kita melawan virus dengan kepedulian dan perhatian kita.
[1]Emmanuel Levinas adalah seorang keturunan
Yahudi. Ia lahir pada tahun 1906 di Kaunas, Lithuania. Pada tahun 1930 ia
memperoleh kewarganegaraan Prancis. Levinas merupakan pemikir yang produktif
dan menghasilkan banyak tulisan, misalnya Le
temp et l’autre (waktu dan yang lain), difficile
liberte (kebebasan penuh kesukaran), totalite et infini (totalitas dan tak
berhingga) dan masih banyak lagi. Bdk Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 455-459.
[2]Felix Baghi, Alteritas: Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Maumere: Penerbit
Ledaler 2012), hal. 13-14.
[3]Machiavellianisme adalah pemahaman politik dengan
prinsip tujuan (politik) menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan tersebut.
Istilah Machiavellianisme berasal
dari nama Niccolo Machiavelli sebagai pencetus prinsip politik ini. Bdk Kumara
A. Yuana, 100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM
- Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis (Yogyakarta: Penerbit ANDI,
2010), hlm. 113.
[4]Emmanuel Levinas, Totality and Infinity, Penerj. Alphonso
Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1990), hal. 197.
[5]J. Pieniezek, “Filsafat Ketuhanan”
(ms.), Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero Maumere, 1989, hal. 74-771.