KEMANUSIAAN DAN PANDEMI COVID-19 (Sebuah Refleksi Filosofis)
Pada akhir Desember 2019 kota Wuhan – China dikejutkan dengan penemuan suatu penyakit sejenis pneumonia baru yang menyerang warganya. Penyakit ini menyebar dengan cepat dari manusia yang satu kepada manusia yang lain. Kota Wuhan menjadi gempar. Pada 23 Januari 2020 kota Wuhan di-lockdown. Dengan cepat para ilmuwan meneliti penyakit jenis baru itu. Mereka kemudian mengidentifikasikannya sebagai virus corona (corona virus). Virus ini kemudian disingkat dengan COVID-19 (corona virus disease 2019).
Penyebaran melalui udara yang keluar
dari mulut (misalnya melalui batuk dan bersin) dan juga sentuhan akibat virus
itu yang juga bisa menempel di tangan dan tempat-tempat lain, membuat virus ini
menyebar dengan cepat. Tempat-tempat umum dan keramaian menjadi sasaran
berkembangnya virus ini. Virus yang berukuran kecil, tidak dapat dilihat oleh
‘mata telanjang’ membuat orang kesulitan. Orang tidak tahu apakah orang di
samping mereka sudah terpapar virus ini atau tidak. Ditambah lagi penyakit ini
adalah penyakit baru yang menyebar dengan cepat, orang-orang menjadi panik dan
saling mencurigai.
Virus ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena penyebarannya yang luas, World Health Organization (WHO) pun
mengumumkan penyakit ini sebagai suatu pandemi. Pandemi berarti penyakit yang
menyebar secara global yang meliputi area geografis yang luas.
Dampak
Pandemi Covid-19 Bagi Manusia
Dampak yang muncul pertama kali dalam pengalaman saya dan
juga memperhatikan masyarakat yang ada di sekitar saya adalah kecemasan dan
ketakutan. Kecemasan ini justeru ditimbulkan oleh informasi yang tidak jelas
dan hoaks yang beredar di media sosial terkait virus ini. Media bergerak lebih
cepat dari pemerintah. Hal ini menyebabkan masyarakat yang menerima informsi
sepotong-sepotong menjadi takut dan cemas. Bahkan karena ketidakjelasan itu,
ada yang menjadikan corona sebagai lelucon.
Globalisasi yang telah meruntuhkan dimensi ruang dan waktu dan yang membuat masyarakat dunia terhubung satu dengan yang lain, turut menyumbangkan aroma ketakutan dan kecemasan. Pasalnya, sarana-sarana transportasi antar-wilayah, antar-pulau, antar-benua yang saling terhubung dapat menjadi pembawa virus itu. Dalam situasi seperti ini, satu-satunya pilihan adalah lockdown atau penguncian total suatu wilayah. Di Indonesia sendiri, lockdown dilakukan agak terlambat sebab hingga beberapa wilayah di Indonesia terpapar virus ini, baru pemerintah bereaksi dengan menerapkan lockdown.
Di
Indonesia lockdown baru terjadi pada
bulan Maret. Pada bulan ini sekolah-sekolah diliburkan. Sekolah-sekolah yang
berasrama seperti seminari (di Maumere – Nusa Tenggara Timur ada banyak
seminari, itu adalah tempat membina calon-calon imam Gereja Katolik),
murid-muridnya dipulangkan ke rumah. Temapt-tempat ibadah juga ‘diliburkan’.
Covid-19 ini ternyata tidak hanya membawa kecemasan,
tetapi mempengaruhi segala lini kehidupan manusia. Pertama, pandangan manusia
dalam melihat sesamanya berubah. Sesama bisa menjadi ancaman atau pembawa
virus. Oleh karena itu, diterapkan social
distancing, gerakan memakai masker, dan mencuci tangan. Dalam masyarakat,
situasi ini ambivalen. Ada yang menaggapinya secra positif dengan melihat
kebijakan itu sebagai solidaritas terhadap yang lain. Namun, ada yang lain
membuat stigma terhadap orang-orang yang kembali ke wilayahnya. Mereka secara
mentah-mentah ditolak untuk tinggal dalam wilayah tersebu. Ini terutama
disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan akan virus tersebut.
Kedua, akibat lockdown
banyak usaha-usaha masyarakat yang tidak berjalan. Kehidupan ekonomi
menjadi terhambat. Orang menjadi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari seperti makanan. Para pedagang yang menggantungkan hidup mereka
pada bisnis, kesulitan memenuhi makan sehari-hari mereka. Bahkan dalam
pemberitaan Flores Tv (https://youtu.be/shyUomGno_4, diakses
1/06/20), ada gelandangan yang pingsan tak terurus di emperan rumah makan kota
Ende. Orang takut mendekati gelandangan itu yang diduga mengalami gangguan jiwa
dan stroke ringan. Pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi menjadi terhambat.
Pelayanan kerohanian bagi umat beragama pun tidak terjadi di gereja-gereja,
mesjid-mesjid, dan tempat ibadah agama-agama yang lain. Aktivitas serba
terbatas. Muncul juga kejenuhan tetap tinggal di rumah saja.
Meskipun demikian, ada juga nilai-nilai positif yang hidup di saat pandemi. Solidaritas antar-sesama manusia menjadi hidup dan terasa. Aksi-aksi solidaritas menyumbangkan sembako, masker, dan alat kesehatan lain dilakukan secara sukarela oleh orang-orang atau organisasi-organisasi yang memiliki lebih. Di wisma St. Rafael Ledalero – Maumere, Nusa Tenggara Timur tempat di mana saya tinggal misalnya, kami mendapat sumbangan masker. Ada juga aksi-aksi amal membantu orang-orang susah. Dalam memberikan pelayanan rohani di saat pandemi, ada paroki-paroki yang membuat live-streaming. Pada hari-hari Minggu banyak orang yang mengikuti misa dari rumah melalui live-streaming itu.
Di desa-desa orang mendirikan pos jaga
yang lengkap dengan alat sterilisasi dan tetap solider dengan orang lain. Untuk
orang dari luar yang masuk ke dalam suatu wilayah diterapkan karantina dan
kemudian kembali ke tengah masyarakat. Dari segi lingkungan hidup, polusi udara
berkurang. Singkat kata, manusia semakin menghargai hidup.
Manusia
di Hadapan Pandemi Covid-19
Berhadapan dengan pengalaman eksistensial manusia akan
ancaman kematian oleh virus tersebut,
manusia kembali menyadari akan keterbatasannya. Dalam lingkup orang-orang
beriman, tiada hentinya orang berdoa pada Tuhan agar badai ini segera berlalu.
Solidaritas di antara manusia semakin dipererat karena semua orang menginginkan
pandemi ini segera berakhir. Meskipun, kita lihat bahwa tetap ada
manusia-manusia serakah yang berlaku tidak adil di saat pandemi. Namun
sekurang-kurangnya, orang menyadari bahwa ia tidak bisa sebebas-bebasnya lagi
seperti dulu. Ia terikat pada usahanya untuk bertahan hidup dengan mematuhi
aturan-aturan yang ada. Walaupun ada yang keras kepala, toh mereka disadarkan
oleh aparat keamanan.
Pengalaman di atas menunjukkan bahwa sebagai substansi
otonom, manusia juga terbatas. Ia terikat pada manusia-manusia yang lain. “Yang
lain bisa jadi yang menentukan hidup saya.” Oleh karena itu, orang membangun
solidaritas melawan virus ini, bahkan dengan tindakan yang tegas bagi
orang-orang yang bersikap “malas tau”. Kepentingan-kepentingan pribadi
disisihkan untuk kemaslahatan bersama.
Dengan lumpuhnya bisnis, orang yang paling
tamak pun menyadari bahwa tanpa manusia yang lain, tanpa pembeli, penjual dan
(atau) produsen tidak ada arti apa-apa. Sebagai subjek yang otonom, ia juga
terbatas sebab di saat pandemi seperti ini, hanya dengan solidaritas bersama
subjek itu akan bisa tetap hidup. Inilah pengalaman eksistensial dari manusia
sebagai Dasein sebagaimana
diungkapkan Martin Heidegger seorang filsuf eksistensialisme asal Jerman.
Sebagai Dasein, manusia adalah subjek
yang senantiasa membuka diri, sebab hanya dengan membuka diri ia menemukan
kebenaran dirinya. Manusia yang asing itu menemukan dirinya dalam keterbukaan
total terhadap yang lain.
Oleh karena itu, situasi ini menjadi momen berharga bagi
manusia untuk kembali merefleksikan pengalamannya sebagai Dasein dalam hubungan dengan sesama, makhluk lain dan alam
lingkungan, dan juga hubungannya dengan Tuhan. Dalam hubungan dengan sesama,
manusia bergantung pada orang lain. Jika orang sibuk dengan kepentingannya
masing-masing, maka pandemi ini mungkin tidak akan berakhir. Contoh nyata dalam
kasus masyarakat di Flores dan NTT. Mulanya orang menganggap biasa-biasa saja
pandemi ini. Namun, saat ancaman itu semakin nyata, orang mulai melakukan social distancing, menggunakan masker,
dan berdoa pada Tuhan mohon agar badai ini berlalu. Keterbatasan manusia itu
muncul dalam situasi batas. Dalam situasi itu, orang membutuhkan yang lain.
Dalam hubungan dengan makhluk lain dan alam lingkungan,
kita menyaksikan bahwa alam dengan caranya menegur manusia dan sekaligus
memperbaiki dirinya. Alam sudah sering tercemar. Namun, dengan adanya pandemi
ini di mana aktivitas transportasi berkurang, lingkungan semakin bersih. Kita
menyaksikan kuncup-kuncup pohon bermekaran. Saat hujan turun di Maumere, Nusa
Tenggara Timur misalnya, banyak orang mengatakan bahwa ini adalah hujan berkat.
Di
saat pandemi ini juga, peran petani terasa sangat penting. Alam yang mereka
kelola dan menghasilkan beras merupakan penopang hidup jutaan masyarakat
Indonesia. Ada yang kelaparan. Namun, alam memberi makanan bagi manusia. Saat
penderita corona berhasil sembuh, hal yang mereka syukuri adalah nafas
kehidupan yang masih boleh mereka hirup.
Muara terakhir dari relasi-relasi manusia di atas adalah relasinya dengan Tuhan. Heidegger yang menggunakan phenomenologi dalam merefleksikan The Supreme Being atau causa sui (sebab yang tidak disebabkan) mengafirmasi bahwa pengalaman akan Wujud Tertinggi itu dialami oleh manusia melalui pengalaman-pengalaman eksistensial yang nampak dalam fenomen-fenomen. Heidegger tidak menyebut The Supreme Being sebagai Allah. Namun, sebagai orang beriman, kepercayaan akan kekuasaan Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, membuat kita yakin bahwa Allah merupakan pemilik dan penentu kehidupan. Oleh karenanya, manusia perlu kembali kepada Allah. Arogansi manusia yang menganggap diri sebagai pusat alam semesta, sebagai penentu segala sesuatu, mungkin perlu secara radikal diubah. Manusia perlu selalu menyadari keterbatasannya sebagai substansi dan subjek yang terbatas, sembari menyandarkan diri kepada Allah sang pemberi hidup. Kapan pandemi ini berakhir, manusia hanya bisa berusaha dalam semangat solidaritas sambil berharap pada Tuhan agar badai ini cepat berlalu.
Oleh Vinsen Laka; Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere