Belajar dari Solidaritas Multatuli
RAKATNTT.COM - Mendengar nama Multatuli bagi kebanyakan orang barangkali dapat dianalogikan seperti orang kota masuk ke sebuah kampung. Sangat asing tentunya. Namun, jika ada yang pernah membaca novel dengan judul “Max Havelaar”, tentu bukan barang baru. Sebab, novel tersebut masih sangat populer hingga saat ini walaupun ditulis ratusan tahun yang lalu. Novel tersebut adalah buah tangan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli (1860), seorang berkebangsaan Belanda. Karya sastra dalam bahasa belanda tersebut, pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh HB Jassin pada tahun 1972. Kerja keras HB Jassin ini mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard pada tahun 1973 (https://historia.id/politik/articles/150-tahun-max-havelaar-vqlyd, diakses pada Jumad 2 Oktober 2020). Selain itu, novel Max Havelaar ini telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa dan juga difilmkan dalam berbagai bahasa (Ibid.,).
Dari segi nama, Multa tuli dalam bahasa Latin berarti, “aku sudah menderita teramat sangat”. Bertolak dari arti tersebut, dapat kita pastikan bahwa isi novel tersebut bercerita tentang nasib penulis sendiri. Max Havelaar atau Pelelangan Kopi Perusahaan Belanda berisi tentang protes akan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan yang memproduksi ketidakadilan terhadap orang pribumi. Luar biasanya ialah, aksi protes tersebut dilakukan oleh seorang bawahan kepada atasannya.
Multatuli yang adalah seorang berkebangsaan Belanda dan pegawai di Pemerintahan resmi Hindia Belanda memiliki rasa cinta dan keprihatinan terhadap nasib orang Indonesia yang diperas oleh kolonial. Padahal, waktu itu adalah situasi kolonialisme yang mengharuskan orang Belanda merampas harta benda orang Indonesia sebanyak-banyaknya. Namun, Multatuli berani melawan arus. Ia pernah membela seorang Kepala Desa yang disiksa sebagaimana dijelaskan oleh Pramoedya Ananta Toer pada bagian pengantar novel satiris tersebut. Hal ini menjadikannya sebagai pihak yang berseberangan arah dengan atasannya di pengadilan. Akibatnya, ia dipindahkan ke Sumatra Barat. Di sana, ia tak pernah bosan memprotes politik divide et impera versi belanda yang mengorbankan orang Sumatra.
Pada usia 29 tahun, ia mengundurkan diri dari jabatannya kerena kecewa dengan atasannya yang sangat tamak merampas harta benda orang Jawa barat. Selain itu, ia juga pernah menulis surat protes kepada Gubernur Hindia Belanda waktu itu untuk memberhentikan dirinya dari jabatannya (Multatuli, 2019: 404). “Membalas surat itu, saya terpaksa memohon kepada yang mulia untuk memberhentikan saya dengan hormat dari jabatan negri,” demikian tulis Multatuli dalam surat tersebut.
Menurut catatan Wikipedia, Douwes Dekker lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Ia meninggal di Jerman, 19 Februari 1887. Dari segi genealogis, ia asli keturunan Belanda tetapi arah perjuangannya bukan untuk Belanda Melainkan murni untuk keadilan bagi warga pribumi.
Belajar dari Multatuli
Jika kita membaca ulang sepak terjang Multatuli, akan kita temukan sebuah spirit perjuangan progresif demi idealisme keadilan. Keadilan dapat diraih melalui sebuah perjuangan yang memakan waktu panjang dan dapat ditempuh dengan berbagaimacam cara. Salah satunya ialah melalui tulisan. Multatuli sebenarnya mau mengajak lebih banyak lagi orang untuk meninggalkan kebiasaan lama khususnya dalam sebuah jabatan pemerintahan yaitu ketaatan buta.
Kita ingat kasus pembongkaran paksa di Besipae, Timor Tengah selatatan, NTT yang baru saja terjadi. Demi ketaatan terhadap kemauan egosentris Pemerintah provinsi NTT, nasib orang-orang kecil di Besipae sangat gampang diinjak-injak oleh pihak keamanan. Tidak ada solidaritas kemanusiaan yang datang dari tubuh pemerintah maupun pihak keamanan yang bertangan besi. Bayangkan, gara-gara ketaatan terhadap pemimpin politik, nasib orang-orang kecil rela dinonaktifkan. Sungguh terlalu. Ini bukti ketaan buta. Orang tidak lagi mempertimbangkan nasib sesama lain yang sedang berada dalam situasi batas. Yang ada dalam orientasi kekuasaan adalah keuntungan semata-mata tanpa pertimbangan pada alternatif solutif yang lain. Tidak ada komunikasi timbal balik untuk mencapai sebuah kesepakatan bersama seperti yang dirindukan oleh J. Habermas dengan etika diskursusnya.
Kebiasaan buruk dalam berbagai jabatan mewah menjadikan manusia apatis terhadap nasib sesama yang lain. Nurani kemanusiaan seolah-olah tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan yang hegemonik. Banyak orang menyembah pada jabatan karena diberi gaji besar dan tak berani melawan ketidakadilan kasat mata dalam tubuh jabatan tersebut karena takut dipecat. Mereka merasa takut jika membela sesama yang sedang dieksploitasi karena kenyamanan dalam jabatan mereka pada akhirnya dicabut oleh atasan yang memiliki otoritas lebih. Hal ini bertolak belakang dengan sepak terjang Multatuli.
Orang asing yang merasa terganggu nuraninya tatkala melihat jeritan minta tolong dari orang-orang kecil sungguh ada dalam diri Multatuli. Filsafat wajah versi Levinas sungguh terejahwantah dalam bentuk perjuangan Multatuli, sang pahlawan kemanusiaan. Solidaritas kemanusiaanya menembus batas agama, juga bangsa sekaligus. Orang Belanda tetapi berjuang dan membela nasib orang Indonesia dan berperang melawan hegemoni rakus atasannya sendiri. Sebuah pelajaran hidup yang layak diteladani khususnya dalam tubuh instansi pemerintahan atau lembaga institusional lainnya. Kepentingan-kepentingan parsial seperti nama baik, jabatan ataupun gaji yang besar mesti dilawan demi sesuatu yang lebih baik dan berguna bagi orang lain.
Berpolitik untuk Banyak Orang
Baik Plato maupun Aristoteles mendeskripsikan politik sebagai seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan (Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan pancasila, 1984). Mengurus sebuah negara berarti dibutuhkan orang-orang kompeten yang mampu memahami dan melaksanakan tuntutan masyarakat. Cita-cita politik sesungguhnya ialah mensejahterakan banyak orang. Namun, politik di negri Indonesia saat ini, paling banyak ialah egopolitis atau politik untuk diri sendiri. Sangat kontradiktif ketika idealisme politik untuk mengentas kemiskinan tetapi gaji seorang politisi sangat besar, tunjangan surplus, fasilitas mewah yang memakan banyak anggaran negara. Kontradiktif sekali. Hal ini membuat kita bisa menduga-duga bahwa salah satu tujuan orang menjadi politisi ialah untuk menjadi cepat kaya bukan melayani masyarakat. Barangkali demikian.
Jabatan dengan gaji dan fasilitas mewah seringkali membutakan nurani kemanusiaan, apatisme sosial dan ingin nyaman sendiri di atas kursi empuk kekuasaan. Orang yang berintelek mumpuni juga seringkali menjadi seorang hamba yang taat buta karena diberi jabatan mewah dan gaji berlimpah ruah. Nalar kritisnya hanya tajam ketika ia menjadi mahasiswa cerdas atau di luar sistim kekuasaan. Banyak pengalaman terbukti demikian. Aktivis-aktivis yang berkoar-koar membela kemanusiaan yang dieksploitasi oleh kekuasaan pada akhirnya menjadi hamba yang taat buta pada kekuasaan tersebut karena ia sudah diberi kenyamanan dalam rupa jabatan, uang, fasilitas dan lain-lain. Aktivis gadungan atau cari panggung layak disematkan pada orang-orang berwatak bunglon seperti itu.
Terlepas dari semua itu, intinya ialah kita belajar dari pengalaman Multatuli. Hendaknya novel Max Havelaar dan sepak terjang seorang Douwes Dekker alias Multatuli memberi energi bagi kita untuk bersolidaritas dengan orang lain khususnya kaum marjinal yang dikebiri oleh sistim kekuasaan. Kita mesti berani melawan kepentingan-kepentingan sendiri yang barangkali membuat kita nyaman untuk diri sendiri dan mengabaikan nasib orang lain. Intinya ialah keadilan mesti merata bagi seluruh rakyat Indonesia.