Tentang Oro Wideng Lapa Keda'
Sejarah Singkat perjalanan Suku Orolaleng
Amo Hola Orolaleng |
Suku
(marga) orolaleng merupakan salah satu kelompok masyarakat yang memiliki
sejarah perjalanan (Dorong Dope’ Ahe Toha) sangat rumit dan berkelok-kelok.
Dengan alasan itu, barangkali tidak salah kalau sejarah perjalanan suku
tersebut mesti diwariskan secara alamiah kepada generasi penerus. Saya, dengan
niat yang murni – juga sebagai generasi muda kedang – terinspirasi untuk
memulai menulis sejarah lisan yang diwariskan walaupun masih sangat sederhana
dan banyak kerusakan dalam penulisan. (Rian Odel)
Oro Wideng Lapa Keda’- Keda’ Pitu Wideng Leme
Pusat suku Orolaleng berasal dari moyang Lahar Loyo. Moyang inilah yang kemudian melahirkan manusia orolaleng yang kaya raya jumlahnya. Cerita perjalanan mereka, berawal dari Uyolewun menuju Kampung Lama desa Leuwayan. Cukup lama mereka menetap di sini. Ada satu cerita unik bahwa setiap kali istri dari leluhur suku orolaleng hamil dan duduk di atas bale-bale milik suku, tidak selalu aman untuk istri bersangkutan.
Sebab bale-bale selalu roboh atau patah. Hingga kemudian, bale-bale itu ditopang dengan pelepah pohon Lontar dan diikat (digantung?) dengan daun Lontar.
Hasilnya, bale-bale itu menjadi kuat dan ibu hamil bersangkutan bisa duduk nyaman di atasnya. Pengalaman inilah yang kemudian melahirkan istilah sakral, Oro Wideng lapa Keda’- Keda’ Pitu Wideng Leme. Istilah ini, dipakai hingga sekarang oleh orang Kedang bagian Leu Wayan dan sekitarnya. Juga perlu diketahui bahwa terbentuknya nama suku Orolaeng berawal dari cerita ini. Oro artinya pohon lontar.
Dari Leuwayan, mereka menuju daerah Hoe’lea’ dan menetap beberapa waktu lamanya, kemudian pergi lagi. Daerah Wei Laong (di sekitar desa Dolulolong atau Hoe'lea') adalah tempat yang menjadi tujuan setelah di Hoe’lea’. Di tempat ini pula mereka berjumpa dengan suku Leu Ape yang bermigrasi dari gunung Uyolewun dan menetap di sebuah tempat yang disebut Ape Napo' (Apa Napo'?)
Lantaran tidak merasa betah di sini, mereka kemudian bermigrasi ke bukit Atalewar-daerah walang Napo’ (ada kabar yang saya dapat bahwa di sini ada tempat bernama orolaleng). Sedangkan suku Leu Ape diceritakan bermigrasi ke Suba Wutu' (ujung Lembata).
Setelah di Atalewar, atanila menjadi tempat tujuan dorong dope’. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke daerah Wowon.
Wowon-Uli’ Nala’ Kata’ Rowa’
Tepat di Wowon inilah, mereka menetap cukup lama dan beranak-pinak. Tanah suku (duli uhe) orolaleng yaitu mulai dari wowon dan sekitarnya sampai daerah Natu Desa Mahal satu. Diceritakan bahwa di Pantai Wowon (Laut di depan pasar Wowon) konon menjadi pusat kampung Orolaleng tapi sudah ditimbun lautan. Di tengah kampung, tumbuh sebatang pohon beringin besar. Di sini, hidup beberapa bersaudara dari suku Orolaleng yaitu Uli’ Nala’, Raba Nala’, Wahar Nala’, Deke' Nala' dan Uyu Nala'.
Diceritakan juga bahwa salah satu saudari milik orang Orolaleng menikah dengan orang Lebe. Pada saat saudari ini meninggal dunia, mereka mengantarnya kepada orang Lebe.
Namun, pada saat tiba di Lebe, tidak ada satu pun orang Lebe yang ada di rumah. Semua mereka sedang pergi berburu. Oleh karena itu, mereka meletakkan mayatnya, bagian kaki diletakkan di atas lesung, sedangkan setengah badannya di bale-bale. Tatkala, orang lebe pulang dari hutan, mereka merasa sakit hati-marah dengan perlakuan orang orolaleng yang barangkali menurut mereka tidak manusiawi meletakkan mayat itu. Hasilnya, terjadi adu kekuatan gaib (Keba Depi We’) antara Orolaleng versus Lebe. Cerita ini nanti akan saya telusuri secara detail....
Di Wowon, orang orolaleng sudah banyak jumlahnya. Diceritakan bahwa, jika satu cabang pohon beringin patah, maka sebagian orang orolaleng akan kena musibah yaitu meninggal dunia. Bisa dibayangkan betapa besar cabang pohon itu. setelah puluhan tahun menetap di wowon, mereka kemudian melakukan migrasi lagi – tentu dengan berbagai macam alasan; salah satunya karena sering terjadi peperangan gaib melawan orang Lebe dan sekutunya. Mereka melanjutkan perjalanan ke arah pedalaman.
Ke Pedalaman
Mereka mengadakan dorong dope’ dari wowon menuju daerah wei sawe, Awur huna, kaka buan – daerah-daerah ini secara administratif masuk dalam wilayah Desa Mahal 1.
Seterusnya tiba di kampung lama orang wa’kio. Dari situ, mereka berpindah ke arah barat hingga sampai di daerah Eder. Khusus di Eder dihuni oleh Leluhur mereka yang bernama Lelang Laba dan turunannya. Pada suatu hari Turunan dari Lelang Laba ( Iu Eha' Wahe Lelang) mengundang leluhur suku Odel wala yang bernama Raba Todo untuk minum tuak bersama di daerah sekitar kampung lama Wa'kio.
Undangan ini bukan dengan tujuan baik melainkan sebuah jebakan. Setelah membuat Raba Todo Mabuk tak tahu diri, turunan dari Lelang Laba dengan gampang membunuh Raba Todo tanpa alasan yang jelas. (Ini versi dari Odel wala, sedangkan versi dari Orolaleng, Raba Todo dibunuh karena mencuri tuak milik orang orolaleng).
Akibatnya, kakak dari Raba Todo yaitu Raking Todo memberontak dan marah. Raking Todo menetap di Ero Weho’, di tempat yang disebut Tua’ Wei, di sekitar lokasi penggalian pasir di Mahal 2. Raking Todo ingin membalas dendam atas kematian adiknya, maka ia pun mengejar turunan dari Lelang Laba. Mereka melarikan diri sampai ke daerah Lewolein sekarang. Raking Todo mengejar mereka dan berhenti di Tanjung Baja lalu kembali.
Walaupun sudah pindah ke Lewolein, nama dari turunan Lelang Laba tak pindah. Buktinya Duli Uhe di bagian Eder menggunakan nama dari nenek moyang orang Orolaleng yang kini turunannya di Lewolein.
Rawang Hereng-Moi Horang
Moi Horang-Horang Mio dan Raba Mio. Raba Mio (Walangsawa) Horang Mio (Mahal).
Horang
Mio melahirkan Moi Horang. Berikut cerita Rawang Hereng dan Moi Horang.
Baca Juga Mengenal Suku Odel Wala
Di kampung lama suku Odel Wala, hidup Rawang Hereng dan istrinya yang bernama Bina Hereng. Rawang Hereng adalah seorang pengiris tuak dan hobi mencari ikan di laut (bele pue’).
Pada suatu malam, dari rumahnya, ia melihat cahaya api di dekat pohon tuak miliknya. Ia menduga, barangkali ada orang yang kemudian mencuri tuak miliknya itu. Keesokkannya, ia memasang duri mengelilingi pohon tuak itu agar tidak dicuri orang – tempat itu kini disebut La’a Toya’.
Besoknya, cahaya api selalu menyala bahkan setiap malam. Ia kemudian memberanikan diri untuk datang ke sumber Api tersebut dan berjumpa dengan anak muda dari orolaleng yang bernama Moi Horang. Ia pun mengajaknya untuk tinggal bersama sebab pada waktu itu Rawang Hereng belum memiliki anak.
Suami dan istri itu sangat menyayangi Moi Horang. Hewan piaraan dan tuak diserahkan padanya sebagai tugas harian khususnya tatkala Rawang Hereng pergi ke pantai.
Pada suatu hari, Rawang Hereng pergi mencari ikan selama empat hari dan di rumah hanya ada Bina Hereng dan Moi Horang. Sekembalinya dari pantai empat hari kemudian, Bina hereng dengan maksud “main gila” pada sang suami; ia menipunya bahwa Moi Horang telah tidur bersamanya.
Sekonyong-konyong, murka Rawang Hereng pun bangkin. Ia mengambil parang dan menghancurkan bagian lutut Moi Horang sambil mengata-ngatai Moi Horang sebagai anak durhaka yang tidak tahu berterima kasih.
Pada saat ia ingin menghabisi nyawa Moi Horang, Bina Hereng pun langsung berkata jujur bahwa ia hanya “main gila.” Maka Rawang Hereng pun sangat menyesal dan berbalik arah ingin membunuh istrinya itu.
Namun, dengan berbagai pertimbangan, nyawa Bina Hereng pun selamat. Pada waktu itu, Moi Horang bersumpah, jika ia membakar batu asah (berbentuk besi) sampai merah dan memegangnya tapi tidak melukai tangannya maka ia tidak bersalah.
Lalu kemudian ia melakukan itu. Batu dibakar sampai merah panas dan Moi Horang Memegangnya. Namun, batu itu menjadi dingin kembali.
Anehnya, ketika batu itu dibuang ke belukar kering di sekitarnya, terjadi kebakaran yang sangat hebat. Dari peristiwa itu, Rawang Hereng pun mengaku salah, maka ia menawarkan berbagai harta kepada anak angkatnya itu untuk menebus kesalahannya tapi ia menolak. Moi Horang kemudian meminta kepada Rawang Hereng agar memberinya sebagian lahan agar sanak saudaranya yang datang kemudian bisa menetap di situ (Tihi'’awu’).
Saudara dari Moi Horang bernama Leu Horang yang kemudian menetap dan beranak-pinak. Dari cerita ini, dapat kita ketahui bahwa persaudaraan suku odel wala dan orolaleng bermula dari sini. Dan sampai saat ini pusat kampung lama orang odel wala dan orolaleng letaknya berdekatan.
Bapak
Gabi Laba Orolaleng, Amo Hola Orolaleng, Leu Lele Odel Wala.
Ditulis
oleh Rian Odel.