Musyawarah Besar Rakyat Lembata (Relevansi, Pesan, Semangat, Kepekaan, dan Kearifan#Bagian 2/Habis)
Oleh Pius Kulu Beyeng |
Mengapa demikian?
Masyarakat pada umumnya
kurang paham tentang peraturan perundangan dan perpolitikan nasional. Yang mereka
tahu adalah Lembata otonom sebagai sesuatu kepastian dan tinggal menunggu waktu
saja. Dengan berkumpulnya semua pemimpin mereka di ibukota Lembata Lewoleba,
tentulah dalam rangka persiapan itu. jadi sisi lain Mubesrata adalah euphoria
masyarakat menyongsong Lembata berdiri sendiri. Bahwa hasil-hasil Mubesrata
yang cemerlang dengan berbagai rekomendasi antara lain rekomendasi paling sakti
dari Mubesrata dalam upaya penanggulangan kebakaran dan lingkungan hidup yakni “SUMPAH
ADAT”. Mereka sambut dengan meriah tapi dalam bingkai pengharapan untuk berdiri
sendiri sebagai daerah otonom. Namun, jauh dari euphoria masyarakat tersebut,
ada kegalauan di kalangan para elit politik Lembata terutama mereka yang
diserahi tanggung jawab memperjuangkan amanat perjuangan otonomi Lembata. bagaimanapun,
cepat atau lambat publik Lembata bisa menjadi resah jika mereka tahu duduk
persoalan yang sedang terjadi. Dengan diterbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun
1974, akan menjadi halangan yang mengganjal perjuangan Lembata untuk mencapai
otonomi. Undang-Undang baru itu membatasi ruang gerak pembentukkan daerah
otonomi baru dengan syarat “otonomi nyata dan bertanggung jawab” sebagai
kondisi termina, yang akan mempersulit perjuangan otonomi Lembata. yang lebih
parah lagi adalah soal kelembagaan. Dalam Undang-Undang yang baru itu, tidak
dikenal lembaga Koordinatorschap. Dalam Undang-Undang yang baru itu hanya
dikenal sebuah lembaga yang bernama, Lembaga pembantu Gubernur dan Pembantu
Bupati. Dan semakin memperparah keadaan adalah kedua lembaga itu merupakan
lembaga staf dan bukan lembaga teritorial seperti lembaga koordinatorschap
sebelumnya. Dan lagi karena sebagai lembaga staf, kedua lembaga itu tidak harus
berkedudukan di ibukota Provinsi atau Kabupaten. Dan satu hal lagi dari aspek
formal baik teknis maupun praktis, sebagai lembaga staf, lembaga Pembantu
Gubernur dan pembantu Bupati tidak memiliki kelengkapan lembaga-lembaga teknis
substantif seperti dinas-dinas daerah seperti yang selama ini diterapkan pada
lembaga koordinatorschap, yang secara teknis administratif bertanggung jawab
kepada Bupati Flores Timur. Namun, secara taktis operasional bertanggung jawab
kepada Gubernur NTT. Aneh memang, tapi nyata ada dan memang pernah ada.
Hal-hal itulah yang
membuat galau dan cemas para elit politik Lembata. bukan takut, para elit itu
tetap semangat, tidak putus asa apalagi takut. Yang dikhwatirkan mereka adalah
apabila masyarakat menjadi resah, putus asa, tidak lagi percaya dan mendukung
dengan sukarela perjuangan otonomi daerahnya. Maka, di samping menyusun lagi
strategi perjuangan yang baru dengan tetap berpegang pada semangat dan landasan
perjuangan 7 Maret ’54, para elit politik merasa perlu adanya usaha untuk
memberi semangat dan meredam gejolak dari masyarakat. Harus ada sebuah cara
atau usaha yang bertujuan untuk pengalihan isu agar masyarakat tidak terganggu
dengan berbagai isu yang bakal muncul apalagi datang dari pihak-pihak yang
secara politik berseberangan dengan perjuangan otonomi Lembata.
Untuk kepentingan
itulah, bapak Yan Kia Poli selaku pemegang amanat perjuangan rakyat Lembata
yang kala itu menjabat sebagai ketua DPRD Provinsi NTT menggandeng bapak El
Tari, Gubernur NTT, yang juga adalah “partner” dalam pembentukan lembaga
koodinatorschap (sebuah lembaga antara sebagai persiapan Lembata otonom, sebuah
lembaga lokal yang dibentuk dengan memanfaatkan situasi yang tidak menentu
dalam perpolitikan nasional pascaperistiwa G30S) mencetuskan diadakannya
Mubesrata.
Padang di Tanjung Leur-Tobo Tani-Buya'suri, Kedang |
Jadi issues lingkungan
yang dibahas dalam Mubesrata, memang tetap merupakan issues aktual kala itu,
issues yang nampak di atas permukaan, tapi sesungguhnya jauh di lubuk hati yang
terdalam, paraelit politik Lembata berusaha untuk hadir dan memberi semangat kepada
rakyatnya agar tetap tenang dan percaya kepada para pemimpinnya. Itulah intisari
relevansi kehadiran seorang pemimpin yang selalu ada dan memberikan semangat
ketika masyarakat atau rakyat dilanda masalah ataupun kesulitan. Seorang pemimpin
harus peka terhadap semua persoalan yang menimpah masyarakatnya, baik yang
nampak maupun suasana batin yang tidak nampak serta arif dalam penanganannya. Itulah
sesungguhnya isi pesandari Mubesrata, yakni semangat kepekaan dan kearifan. Dan
itu jugalah yang hendak diturunkan oleh para founding fathers kita kepada kita
terutama generasi hari ini yang menjalankan roda pemerintahan di daerah
Lembata, khususnya penyelenggara pemerintahan daerah yakni Kepela Daerah dan
Wakil Rakyat Daerah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Gubernur dan Ketua
DPRD provinsi NTT serta bupati dan ketua DPRD Kabupaten Flores Timur pada saat
itu, 40 tahun yang lalu.
Mubesrata sendiri telah
menghasilkan 17 rekomendasi dan 11 saran yang khusus ditujukan kepada
Pemerintahan Lembata yang dimuat dalam keputusan Mubesrata Nomor
6/MUBESRATA/IV/1977, tanggal 28 April 1977, yang ditandatangani oleh pimpinan
sidang Saudara Pius Kulu Beyeng BA dan Sekretaris sidang Saudara Sam B. Keraf
BA serta diketahui oleh pemimpin/penanggung jawab Mubesrata, Bapak Yan Kia
Poli. Butir rekomendasi yang paling
pertama adalah dilaksanakannya SUMPAH ADAT di setiap Desa dengan janji setia
untuk tidak lagi membakar dan atau merusak hutan. Awalnya ide “sumpah adat” ini
dikecam dan ditolak, karena yang paling ditakuti, tapi pada akhirnya lolos
menjadi keputusan butir paling pertama.
Beberapa tahun
kemudian, sesudah Mubesrata tidak ada lagi kebakaran hutan dan pengrusakkan
hutan di seluruh Lembata dan hujan pun turun dengan lebat selama musim hujan. Bapak
Yan ketika berkunjung ke Lembata beberapa waktu kemudian secara bergurau
berkata, “Pius, ini semua gara-gara engkau punya Mubesrata,” katanya sebagai
candaan antara seorang bapa dengan anaknya, yang sesungguhnya merupakan
ungkapan perasaan kegembiraan setelah setelah melihat perubahan lingkungan
hidup yang luar biasa berubah.
Kini Mubesrata sudah
berlalu. Sudah mencapai usia pancawindu. Otonomi Lembata sudah tercapai. Di tengah
hiruk-pikuk otonomi saat ini, sejarah telah mencatat sebuah peristiwa kecil
sebagai seutas benang merah yang menghubungkan peristiwa demi peristiwa yang
mengisi ruang dan waktu antara 7 Maret ’54 hingga tahun 1999.
Jayalah
Lembataku-Lembata Kita!
Akhirnya, izinkanlah
saya untuk secara khusus menghaturkan terima kasih kepada rekan dan sahabatku
Thomas Atalajar, yang oleh dorongannya yang halus tetapi keras telah
memungkinkan tulisan ini dapat dipublikasikan. Saya juga memohon maaf atas
segala kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Dan tulisan ini terbuka
untuk koreksi dan perbaikan demi penyempurnaannya.
Terima kasih untuk
semua perhatian dan dukungannya.