Molan Maren; Siapa Mereka? (wawancara Ekslusif dengan Bapak Amo Hola)
Molan Amo Hola Orolaleng |
Sebelum kehadiran agama-agama besar seperti Islam dan Kristen di Lembata, sudah terdapat sistim kepercayaan lokal milik masyarakat setempat. Di Kedang, Kabupaten Lembata, sistim kepercayaan tradisional ini masih sangat subur dihayati.
Terdapat berbagai bentuk ritual tradisional yang menjadi kekhasan dalam konteks kepercayaan lokal, misalnya Poan Kemer, Ame’ sabong dan masih banyak lagi. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini sering kali disebut sebagai agama lokal (Indigenous Religion). Namun, seturut perkembangan zaman – juga tak lepas dari intervensi agama besar; Islam dan Kristen – kepercayaan-kepercayaan sebagaimana dimaksud, mulai diragukan keabsahannya.
Baca Juga Gali Lebih Dalam Makna Sebutan Molan Maren
Ada banyak komentar yang mengarah kepada penghinaan terhadap budaya lokal Kedang, misalnya anggapan bahwa ritual-ritual agama lokal setempat adalah praktik berhala dan layak untuk dihapus sampai ke akar-akarnya dan diganti dengan ajaran agama formal yaitu islam dan kristen. Hal ini bisa terbaca pada ujaran-ujaran lepas yang penulis temukan dalam dialog via dunia maya, grup facebook sejarah Kedang misalnya.
Menurut Samsul Maarif, agama lokal di Indonesia seringkali direpresentasikan dengan berbagai terminologi negatif, seperti animisme dan dinamisme yang berkonotasi negatif dan invalid.[1] Memang, pendapat ini benar.
Terlepas dari semua komentar diskrimitanif sebagaimana saya sebutkan di atas, ada hal menarik yang perlu dipublikasikan. Yang saya maksudkan ialah tentang identitas pemimpin ritual tradisional di Kedang yang disebut Molan Maren.
Mengenal Molan Maren
Molan Maren berasal dari kata bahasa kedang. Molan, barangkali berasal dari kata Moleng yang berarti “sembuh”, “yang menyembuhkan”, “dukun.” Maren, berarti “sakral” atau “suci.” Moleng juga berarti "yang lembek (buah yang matang), halus, tidak keras. Artinya, molan adalah orang yang lembut hatinya, tidak keras.
Dari latar belakang bahasa tersebut, bisa kita ketahui secara lebih akurat bahwa Molan Maren berarti orang yang memiliki kharisma suci untuk membantu yang sakit. Sedangkan orang Lamaholot menyebut Molang. Molang sendiri memiliki dua arti yaitu “Tukang sihir”, dan juga “Dukun.”[2] Memang, dualisme arti tersebut sering terdengar dalam kehidupan setiap hari.
Di kedang juga sama. Orang sering menyebut bahwa Molan Maren hadir memberi manfaat ganda kontradiktif. Selain membantu atau menyembuhkan (arti positif), Molan Maren juga seringkali ditakuti karena “dicurigai” sebagai Tukang Sihir atau yang bisa membuat orang sehat menjadi sakit atau menderita (arti negatif).
Entahlah
mana yang benar? Saya tidak layak memberi kesimpulan.
Menurut Amo Hola
Untuk memahami secara mendalam identitas Molan Maren, saya memberanikan diri, tentunya dengan niat tulus untuk langsung mewawancarai bapak Amo Hola Orolaleng. Ia adalah seorang Molan Maren yang dikenal luas di wilayah Kedang.
Minggu, (27/07/2020), bertempat di Desa Mahal, Kecamatan Omesuri, saya mewawancarai Bapak Amo Hola Orolaleng terkait latar belakang atau asal-usul dirinya menjadi seorang Molan Maren (selanjutnya dukun).
Bukan Berhala |
Menurutnya, indikasi bahwa dirinya menjadi seorang dukun mulai terasa pada tahun 1985 ketika ia kembali dari Ambon sebagai seorang perantau.
Berawal melalui mimpi, ia menerima petunjuk dari seseorang yang datang memberinya sekuntum bunga mawar. Orang tersebut, memesan kepada Bapak Amo Hola untuk merahasiakan namanya kepada publik. Beberapa hari kemudian, bapak Amo Hola merasa ada petunjuk atau ada desakan dari dalam dirinya untuk pergi ke kampung Lama suku orolaleng. Ia kemudian bermalam di Kampung lama; di sebuah Ebang[3] yang sudah lapuk umurnya.
Pada malam penuh kesunyian, dengan hembusan angin yang mengalir dari puncak Uyelewun, bapak tua yang pernah hadir dalam mimpinya, datang lagi menjumpai Amo Hola. Saat itulah, semua petunjuk, bahasa-bahasa adat dan syair-syair indah ditransfer kepada Amo Hola.
Perasaan pertama yang tumbuh dalam hati terdalam bapak Amo Hola ialah, rasa pesimis dan juga kecemasan. Hal ini beralasan karena, ia sendiri belum yakin penuh; apakah ia bisa menjadi dukun? Sebab menjadi dukun adat itu sebuah tugas yang besar. Dalam mimpi tersebut, ia bertanya kepada “sang guru” tentang jalan untuk menjadi dukun yang baik sehingga bermanfaat untuk banyak orang khususnya, mereka yang percaya.
Salah satu kekuatan yang harus dipegang oleh Amo Hola sesuai petunjuk “sang guru” ialah, motivasi baik untuk membantu orang, bukan mencelakakan orang.
Dalam wawancara tersebut, Amo Hola juga menceritakan awal mula ia mewartakan diri sebagai seorang dukun. Menurutnya, mesti ada keberanian dan jujur untuk mengungkapkan dirinya kepada ribu ratu’. “Awalnya, pasti ada rasa ragu-ragu, tapi mesti jujur dan akhirnya saya menjadi seperti sekarang ini”, ungkapnya sambil tertawa ria.
Banyak orang sudah ia bantu. “Dosa besar, kalau sebagai seorang molan, saya membiarkan orang terus sakit”, sambungnya. Menjadi dukun adalah sebuah tanggung jawab akan kemanusiaan, juga bentuk tanggung jawab kepada Tuhan dan Leluhur. Oleh karena itu, tugas yang paling penting menjadi dukun ialah, tueng moleng, balo laen, “menyembuhkan orang yang sakit.
Dengan motivasi tulus, hari demi hari, popularitasnya semakin menanjak. Ia pernah diundang sampai ke Maumere, Ende dan wilayah-wilayah lain di luar Kedang untuk memimpin ritual adat dan menyembuhkan orang.
“Kalau
saya tidak hadir sebagai dokter yang membantu orang, bagaimana mungkin orang
Maumere mengundang saya ke sana?”
Perasaan yang muncul ketika menyelesaikan sebuah ritual adat ada dua menurutnya. Petama, rasa cemas jika ritual yang dilakukan tidak berjalan secara baik atau ura’ le’ daten. Kedua, rasa bahagia akan timbul jika ritual berjalan baik dan memberi hasil yang baik apalagi jika pasien bisa disembuhkan.
“Saya
rasa senang kalau bisa menyembuhkan orang”, tuturnya sambil meneguk tuak
kelapa.
Molan Pertama di Kedang
Orang Kedang yakin bahwa segala sesuatu yang baik akan selalu diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Juga tentang Molan Maren. Menurut Amo Hola, Molan pertama di Kedang adalah seorang perempuan yaitu Popo’ Loyo. Ia memiliki enam saudara laki-laki. Kemudian, dalam perjalanan waktu, tugas sebagai Molan Maren tersebut, ia serahkan kepada salah satu saudaranya yang bernama Lia Loyo yang kemudian mewariskan kepada generasi selanjutnya yang menetas dari perut gunung Uyelewun. Sistim warisan ini dikenal dengan sebutan todi hen, “jabatlah tangan dan terimalah.”
Memang sangat unik, cerita seperti ini. Sejak zaman kuno, nama-nama orang di kedang selalu dikaitkan dengan nama benda langit seperti bintang, bulan dan matahari. Misalnya, Wula (bulan), Lia (bintang pagi), Loyo (matahari). Loyo Buya’ (Matahari bercahaya putih) dan seterusnya.
Bukan Berhala
Pada akhir perjumpaan itu, saya juga bertanya soal pandangan orang-orang tertentu yang menilai bahwa ritual adat khususnya Poan Kemer adalah bentuk berhala. Ia dengan santai menjawab bahwa mereka tidak paham secara mendalam substansi dari sebuah ritual.
Di Noni', Desa Mahal 1, Omesuri, Lembata |
“Kami buat seperti itu dengan kepercayaan kepada Tuhan, juga hormat kepada Leluhur dan Uhe Awu’ (ibu bumi)”, ungkapnya dengan nada yang santai. “Hanya orang yang tidak tahu adat saja yang omong seperti itu”, demikian ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa, sebelum kehadiran agama-agama seperti sekarang, nenek moyang sudah punya kepercayaan tradisional yang membuat mereka bisa hidup damai dengan Tuhan, Alam semesta dan sesama.
“Kalau
nenek moyang sembah berhala; pasti Tuhan sudah kutuk mereka; nyatanya tidak.
Mereka masih bisa hidup dan melahirkan kita.”
(Ditulis Oleh Rian odel)
"Segala yang baik itu sudah ada di dalam rumah
mari kita cari"
[1] Samsul Maarif, “Kajian Kritis
Agama Lokal”, dalam Samsul Maarif, (ed.), Studi
Agama di Indonesia (Jakarta: Center for Religious and Cross-cultural
Studies/CRCS, 2016), hlm. 39.
[2] Paul Arndt, Agama Asli di Kepulauan Solor, Penerj. Paulus Sabon Nama (Maumere:
Penerbit Puslit Candraditya Maumere, 2003), hlm. xv.
[3] Rumah adat multifungsi milik
orang Kedang.