Legenda Tentang Buaya di Kedang
Oleh
Rian Odel
Cerita-cerita
zaman kapak tentang buaya masih menghantui pemikiran kritis manusia pada zaman
ini. Di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, sebagian penduduk setempat mengakui
bahwa buaya memiliki kaitan dengan nenek moyang mereka.
Hal ini membuat mereka
beranggapan bahwa buaya memiliki sumbangan positif bagi kehidupan manusia di
pulau Timor. Jika ada manusia yang meninggal dunia karena terkaman buaya, tetap
dianggap sebagai sebuah rahasia alam yang tak terpecahkan. Bahkan, dipercaya
bahwa manusia bersangkutan barangkali memiliki dosa berat yang berakibat pada
kematian yang tak wajar itu.
Selain
kepercayaan kuno masyarakat di pulau Timor, di Kabupaten Lembata khususnya suku
bangsa Kedang di Timur pulau itu pun
memercayai konsep yang kurang lebih sama. Sejak permulaan, mereka sudah
ditanam cerita lisan nenek moyang tentang eksistensi hewan buas tersebut di
tanah kedang.
Mereka mengakui bahwa buaya adalah pelindung orang kedang tatkala
dilanda marabahaya, misalnya peperangan. Buaya diyakini sebagai pelindung
khususnya di wilayah lautan. Makanya, hewan buas tersebut diberi gelar sebagai
nenek moyang. Namun demikian, ada satu cerita legenda yang barangkali menjadi
dasar kepercayaan orang kedang bahwa buaya adalah nenek moyang sebagai berikut,
Legenda Bapa Naran
Alkisah, di tanah
kedang, hiduplah Bapa Naran bersama saudara-saudarinya. Sebagai satu keluarga
besar mereka selalu hidup berdampingan dan penuh dengan suka cita. Selain Bapa
Naran, ada juga saudari kandungnya yaitu Are’ Naran – kelak are’ Naran menjelma
dewi padi atau sumber makanan – dan beberapa saudara sekandung lainnya.
Lantaran, tubuh Bapa Naran tidak sehat – diceritakan bahwa ia sering menderita
sakit dan tak pernah sembuh – makanya semua saudara-saudarinya pun merasa
kewalahan untuk mencari jalan keluar. Karena merasa kehadirannya membebani
saudara-saudari sekandungnya, Bapa Naran Pun memutuskan untuk berpindah tempat
tinggal di lautan.
Untuk membuktikan niatnya ini, maka mereka melakukan
sumpah-janji atau sayin bayan – versi lamaholot: bela baja. Bapa Naran berjanji
untuk pergi dan tidak kembali seperti sediakala dalam wujud manusia.
Untuk membuktikan
bahwa ia jujur, maka konsekuensinya ia harus menanggalkan lidahnya untuk tetap
tinggal di daratan sebab lidah adalah bukti kejujuran. Setelah mereka melakukan
sayin bayan, Bapa Naran pun pindah ke lautan dan namanya pun berubah menjadi
Bapa Iu (buaya).
Berpuluh-puluh
tahun kemudian, lidah dari Bapa Naran yang ditanggalkan di daratan itu berubah
menjadi lidah buaya yang tumbuh dalam wujud tanaman yang indah dan bermanfaat
untuk manusia.
Silsilah
Bapa Naran sampai Uyolewun
Bapa
Naran
Nuhan
Loyo
Buya’
Subang
Pulo dan seterusnya sampai Uyolewun.