Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Malam Sastra di Unit Yosef




Unit St. Yosef Freinademetz Adakan Malam Apresiasi Sastra
Oleh Joni Harto Sarnus




Ledalero, YosFrei News
           Seksi Publikasi Unit St. Yosef Freinademetz adakan kegiatan Malam Apresiasi Sastra  untuk memacu daya kreasi dan apresiasi sastra dalam diri para frater di Seminari Tinggi Ledalero. Kegiatan yang berlangsung di unit St. Yosef Freinademetz, Ledalero, Maumere, Kamis (19/9) ini dihadiri oleh hampir 100 orang frater. Kegiatan ini juga dihadiri oleh sejumlah mahasiswi awam STFK Ledalero. Pentas Malam Apresiasi Sastra ini menghadirkan P. Dr. Leo Kleden, SVD,  salah seorang dosen filsafat pada STFK Ledalero. Kehadiran Dr. Leo Kleden tidak hanya menjadi jawaban atas kerinduan para pencinta sastra, tetapi juga menjadi inspirasi awal bagi para pemula dalam dunia sastra. Selain itu, hadir juga P. Dr. Puplius Meinrad Buru, SVD, dosen teologi pada STFK Ledalero sekaligus prefek unit St. Yosef Freinademetz. Moderator dalam kegiatan ini adalah Fr. Defri Ngo, inisiator kegiatan Malam Apresiasi Sastra dan juga seorang penyair muda yang aktif menulis di media masa.
            Pembukaan kegiatan Malam Apresiasi Sastra ini dimulai dengan musikalisasi puisi dari Fr. Hilarius Yancen, SVD  yang berjudul “Pena Massa” dan puisi “Gadis Tanpa Alas Kaki” dari Yuliati Ningsih, mahasiswi filsafat STFK Ledalero. Penampilan kedua penyair muda ini mendapat tepuk tangan dan sorakan meriah dari peserta yang didominasi oleh para frater. Kegiatan ini juga diramaikan oleh penampilan YosFrei Accoutic yang dipimpin oleh Fr. Roy Ndaing dan Fr. Ari Laka. Beberapa lagu yang dinyanyikan oleh Fr. Erwin Bastian dan Fr. Surya Gabhe tampak sangat menghibur dan menghidupkan suasana Malam Apresiasi Sastra ini.





Titik puncak kegiatan Malam Apresiasi Sastra ini adalah apresiasi terhadap puisi berjudul “Manusia Abadi” karya Fr. Rian Odel, SVD.  Ia adalah salah satu mahasiswa pada STFK Ledalero dan selalu aktif dalam dunia tulis-menulis baik dalam lingkungan kampus maupun non-kampus. Ia telah menerbitkan sejumlah artikel opini, feature, puisi dan cerpen pada koran Flores Pos. Dalam pertanggungjawaban sastrawi terhadap puisi ini, Rian Odel mengatakan bahwa melalui puisi Manusia Abadi, ia berusaha mengangkat dan menghadirkan kembali nilai humanisme dalam budaya lokal. “Kehadiran agama-agama (agama samawi), membawa dua sisi yang berbeda. Ada sisi tertentu, agama dilihat sebagai sebuah sekolah kemanusiaan, tetapi di sisi lain membawa racun bagi peradaban manusia,” tegas Rian Odel. Puisi ini lahir dari kegelisahan atas munculnya berbagai praksis beriman atau beragama era modern yang cenderung meniadakan respek pada kemanusiaan. Ia juga menegaskan bahwa entitas abadi yang dimaksudkan dalam puisi ini adalah kebaikan manusia itu sendiri. Bagi Rian Odel, kebaikan itu abadi hanya jika dipertalikan dengan Tuhan sendiri sebagai Sang Kebaikan yang Abadi. Ia juga mengakui bahwa puisi ini merupakan sebuah refleksi-eksploratif atas pengalaman hidupnya sendiri yang dialaminya selama masa kecilnya di Lembata.
             Terhadap puisi Manusia Abadi ini, sejumlah peserta memberikan apresiasi dan kritik melalui argumentasi yang sistematis dan kritis. Apresiasi pertama diberikan oleh Fr. Elton Wada dan disusul oleh Fr. Edi Soge serta sejumlah penyair muda lainnya. Mereka memberikan catatan dan tanggapan kritis atas puisi ini dan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada penulis. Elton Wada mempertautkan konsep keabadian dalam kaitan manusia dan teknologi di era modern. Sementara itu, Edi Soge mencari latar belakang filosofis di balik penulisan puisi Manusia Abadi.
Antara Penyair dan Puisinya
            Sebelum memberikan komentar dan apresiasi terhadap puisi Manusia Abadi, Dr. Leo Kleden menyampaikan apresiasi atas inisiatif mengadakan Malam Apresiasi Sastra ini. Dalam komentarnya terhadap Manusia Abadi, Dr. Leo Kleden mengatakan bahwa seorang penyair tidak perlu memberikan penjelasan argumentatif-rasional atas puisinya sendiri. “Seorang penyair tidak perlu memberikan penjelasan tentang puisinya sendiri dan suatu penjelasan yang bagus dan panjang lebar, tidak membuat puisi lebih bagus,” kata Dr. Leo. Baginya, teks puisi itu bersifat independen dari penulisnya sendiri, sehingga hanya teks itu sendiri yang berbicara, bukan latar belakang yang dipaparkan oleh penulisnya.  “Penjelasan yang hebat tidak membuat suatu sajak kecil menjadi hebat,” kata Dr. Leo, “dan penjelasan yang buruk tidak membuat satu sajak yang baik itu menjadi buruk. Sajak itu berdiri sendiri. Suatu teks, suatu pahatan indah yang tetap indah. Biarpun ditanyakan pada pemahatnya (tentang yang indah itu), dia tidak bisa jelaskan.”





           

 Dr. Leo Kleden juga memberikan suatu perbaikan paradigma bahwa klaim superioritas agama terhadap keberadaan budaya lokal merupakan suatu mitos. Dikatakannya demikian karena, “yang dinamakan budaya lokal itu sudah menerima berbagai pengaruh dari mana pun juga.” Baginya, tidak ada budaya yang orisinal di Indonesia, karena Indonesia sendiri adalah bangsa yang bersifat terbuka terhadap pengaruh dari empat penjuru mata angin. “Mimpi bahwa kita dulu baik sekali, (adalah) palsu sekali,” tegas Dr. Leo. Singkatnya, menurut Dr. Leo Kleden, “semua kebudayaan mengandung apa yang baik dan buruk. Itu berakar dalam kemanusiaan kita sendiri.” Dr. Leo juga membedah sajak atau puisi Manusia Abadi dari sudut pandang persajakan. Baginya, puisi ini kurang memenuhi kaidah persajakan yang mensyaratkan harmoni dalam setiap bagiannya. Dr. Leo katakan bahwa keindahan sebuah puisi atau sajak berhubungan erat dengan isi dan cara penyajian puisi itu sendiri. Ia juga menegaskan pentingnya menulis dengan intuisi tanpa dominasi rasio.
             Dr. Leo Kleden juga memberikan tanggapan dan jawaban terhadap sejumlah pertanyaan baik tentang puisi ini maupun tentang sastra pada umumnya. Dalam Malam Apresiasi Sastra ini, komentar dan tanggapan Dr. Leo Kleden bertolak dari sudut pandang filsafat yang merupakan bidang keahliannya sendiri. Para peserta Malam Apresiasi Sastra ini tampak sangat mengagumi Dr. Leo Kleden sebagai seorang penyair yang telah menghasilkan sejumlah sajak yang telah dikenal luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam sambutan penutupnya, Dr. Leo Kleden mengucapkan terima kasih kepada Rian Odel, penulis puisi Manusia Abadi dan juga apresiasi kepada para penyair yang hadir dalam Malam Apresiasi Sastra ini.
            Kegiatan Malam Apresiasi Sastra ini diakhiri dengan komentar dan sambutan penutup dari P. Dr. Puplius Meinrad Buru, SVD. Sebagai orang yang cukup praktis-pragmatis, sebagaimana diakuinya, Dr. Puplius mengatakan bahwa di dalam puisi Manusia Abadi terkandung suatu kritik sosial dan religius. Baginya hal demikian menjadi titik fokus refleksi yang diperolehnya dari puisi ini. Dalam sambutannya, Pater Puplius menyampaikan apresiasi dan peneguhan bagi Rian Odel atas puisi yang telah dibawakannya dan kepada Dr. Leo Kleden yang bersedia hadir dalam acara ini. Ia juga mengucapkan apresiasi dan terima kasih kepada semua pihak dan hadirin yang telah mengisi dan meramaikan kegiatan Malam Apresiasi Sastra ini. “Saya melihat minat yang luar biasa dari kita semua dan forum-forum seperti ini perlu digalakkan,” demikian pesan penutup dari Pater Puplius.