Suku Odel Wala Panggil Leluhur
Di Puncak Noni', Kedang. Salah Satu kampung lama Bersejarah Milik Suku Odel Wala |
Relasi dengan Leluhur suku tidak akan pernah
putus jika manusia terus membangun kesadaran dalamm dirinya tentang makna dari sebuah
ritual persatuan. Pada pertengahan bulan Juni 2019, tepat di puncak bukit
Noni’, Desa Mahal 1, Kecamatan Omesuri, Lembata telah diadakan ritual khusus
memanggil Leluhur. Ritual tersebut diadakan atas prakarsa semua anggota suku
odel wala dengan maksud agar leluhur selalu hadir melindungi mereka. Ada lima
Leluhur suku yang menjadi tujuan diadakannya ritual tersebut yaitu Baha Lele,
Koa Lele (koa Lagadoni/Ulumado), Lake Lele, Raya Lele, dan Todo Lele.
Dikisahkan oleh Leu Lele Odel selaku kepala suku bahwa pada sekitar tahun
1000/1100-an Masehi, di puncak Noni’ merupakaan pusat kampung bagi kelima
Leluhur tersebut. Namun, karena pada waktu itu terjadi sebuah bencana besar sehingga telah memaksa mereka untuk pergi keluar dari wilayah kedang kecuali si
bungsu yaitu Todo Lele yang melahirkan suku odel wala.
Empat Leluhur suku yang bermigrasi dari Noni’ Kedang yaitu, Baha, Koa,
Raya, dan Lake. Mereka bermigrasi menggunakan perahu Lagadoni berlayar emas dan
menurut tuturan narasumber perahu tersebut diciptakan oleh ayam ajaib atau
manu’ siringkoko. Lagadoni berarti penyelamat. Tiba di tanjung Labala-selatan
Lembata, seorang Leluhur mereka yaitu Bala/Baha Lele menetap di sini dan dia mewariskan pusaka sura’ Besiloi Ua Wei Weren (surat
kesulungan).
Selanjutnya, leluhur yang lain melanjutkan perjalanan sampai ke
Solor dan kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke Botung Adonara. Koa Lele atau disebut Koa
Lagadoni-Koa Ulumado menetap beberapa saat di Botung dan diceritakan bahwa ia
pergi berperang sampai ke wilayah Jawa. Raya Lele ke wilayah Larantuka dan
beranak pinak melahirkan suku BlanTerang. Lake Lele kembali ke Kedang
melewati jalur utara Lomblen dan memperistri Bori dari Atawatung Ileape.
Lake
dan Bori (lako bori) kemudian diundang oleh raja dari Pandai-Baranusa untuk
berperang melawan kerajaan Munaseli yang dipimpin oleh Raja Sirang Babu. Lako
Bori kemudian membunuh Pito Para-Mau para, dua panglima perang Kerajaan Munaseli. Lako Bori juga adalah pencetus Sayin Bayan-Perjanjian dat antara orang Kedang dan Pantai.
Baca Juga Anak-Anak Ulun Pulo
Ura’ Le’ Di’en.
Subjudul tersebut berarti bahwa
ritual yang dilakukan oleh suku odel wala telah sukses sesuai harapan. Mengapa
tidak? Lima ekor ayam yang dikurbankan mewakili lima leluhur suku telah memberi
kode positif melalui kaki atau disebut Ura’
Le’.
Molan atau pemimpin ritual merasa gembira dengan momen ini karena
ritual berjalan lancar dan tidak mempersulit molan. Usai ritual, semua anggota
suku yang hadir melakukan santap bersama dalam rasa kekeluargaan dan
kegembiraan sebab ritual tersebut telah memberi bukti bahwa Leluhur tidak
pernah melupakan mereka. Bahkan merekapun bernyanyi bersama. Noni’ atau kampung
Lama lima leluhur tersebut terletak di puncak bukit dekat pantai selatan laut
sawu.
Di tempat tersebut, kita bisa menikmati pemandangan ke segala arah baik
ke laut maupun arah darat atau ke wilayah gunung Uyolewun. Salah satu alasan
leluhur memilih puncak bukit yaitu agar terlindung dari bahaya musuh dan bisa
memantau pergerakan musuh khususnya dari arah laut. Hadir di tempat tersebut,
setiap orang bukan
hanya memaknai ritual dan menikmati pemandangan yang elok melainkan juga
merasakan kembali suasana tempo dulu ketika leluhur suku berjuang untuk
menyelamatkan diri dari bencana.
Catatan Penulis
Tulisan ini terbentuk
dari penjelasan narasumber Bapak Martinus Meang odel dan Lelu Lele dengan
maksud sampingan agar para pembaca yang mungkin memiliki cerita perjalanan
Leluhur yang sama bisa memberi konfirmasi, misalnya suku BlanTerang di Larantuka
sebab versi dari Kedang belum tentu diterima. Namun, sejarah perjalan leluhur harus
ditulis dengan penuh kejujuran agar bisa menemukan jawaban yang sebenarnya.
(Rian Odel: 081337652194)