Sayin Bayan Kedang dan Kerajaan Pandai di Pantar, Alor
Keterlibatan Panglima Lako Bori
Dalam Perang Munaseli
Lima Bersaudara dari Kedang
Pada sekitar abad ke 13/14 Masehi,
di Puncak bukit Noni’, Desa Mahal 1, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata;
hidup lima orang bersaudara yang berasal dari suku Odel wala (Pemilik tumbuhan
talas). Mereka itu adalah Bala Lele, Koa Lele, Lake Lele, Raya lele dan Todo
Lele. Pada suatu ketika, kelima bersaudara tersebut pergi mengail atau mencari
ikan di tanah Lepan Batan selama kurang lebih empat hari.
Sekembalinya mereka
ke Noni’, ternyata istri dan anak-anak mereka telah berkalang tanah karena
dibunuh oleh omang atau neda hari
(Jin dari laut), sebab sebelumnya telah terjadi pertempuran antara mereka
melawan jin tersebut. Akibat dendam membara, neda hari itu pun mengejar
mereka dan membunuh habis istri dan anak-anak.
Pristiwa ini memaksa mereka
untuk bermigrasi dari tanah Kedang-Uyelewun menuju arah barat Pulau Lomblen.
Kelimanya
bersepakat untuk melakukan pelayaran lewat jalur pantai selatan. Namun, anak
bungsu yaitu Todo Lele menolak untuk pindah dari Kedang dengan alasan sebagai
turunan asli Uyelewun, ia mesti tetap menetap di tanah Leluhur dan beranak
pinak. Turunan dari Todo Lele hingga kini disebut orang odel wala yang menetap
di Desa Mahal 1 dan 2, Kedang.
Sedangkan ke empat saudara yang lain berlayar
pergi dan singgah di tanjung Labala. Di sini, si sulung yang bernama Bala Lele
menetap dan beranak pinak. Namun, sampai sekarang, penulis belum mendapatkan informasi
tentang turunan asli Bala Lele di Labala. Raya Lele, Koa Lele (Koa Lagadoni-Koa
Ulumado) dan Lake Lele berlayar terus sampai Ke Botung Adonara. Koa Lele
singgah beberapa saat di Botung dan diceritakan bahwa ia kemudian bermigrasi ke
tanah Jawa dan kembali ke Lomblen.
Namun, sampai saat ini, kuburnya
belum ditemukan. Raya Lele dan Lake Lele berlayar terus ke Larantuka dan membantu
raja Larantuka dalam sebuah pertempuran. Karena bantuan itu memeroleh
kemenangan, maka Raya Lele diizinkan untuk menetap di Larantuka. Ia mewariskan
pusaka Layar emas.
Lake Lele memutuskan untuk kembali Ke Kedang melalui jalur
pantai Utara Lomblen dan singgah di Atawatung, Ile Ape. Di tempat ini, Lake
Lele memperistri seorang perempuan perkasa yang bernama Bori. Lantaran tubuh
Lake Lele penuh dengan bulu yang tebal, maka orang Atawatung memanggilnya Lako
yang berarti musang (selanjutnya Lako Bori).
Keduanya kemudian kembali ke
Kedang untuk mencari adik bungsu yaitu Todo Lele. Lako Bori kemudian menetap di
Honi’ero – sekarang desa Kalikur – bersama tuan tanah Honi’ero. Lako Bori
adalah pelayar tangguh dan disebut juga sebagai Mi’er (panglima perang). Namun, sampai saat ini terdapat variasi
versi tentang identitas Lako Bori.
Bapak Tajudin Tatuq di Atarodang misalnya,
berkata bahwa Lako Bori adalah Mi’er
yang berwujud dua ekor anjing. Versi ini tentunya kontra dengan cerita dari
tetua suku Odel wala dan sumber-sumber lain baik dari daerah Pantar-Alor maupun
dari Ile Ape.
Perang Kerajaan Pandai dan Munaseli
Di Pulau Pantar, ada dua kerajaan
yang sedang mengadakan pertandingan bola takraw (versi odel wala) sedangkan
versi samar-samar dari Alor, tapi mesti dibaca
secara kritis karena ada kalimat yang bertolak belakang ialah berkaitan dengan
barter (http://alorternate.blogspot.com/2016/12/sejarah-kerajaan-alor.html).
Dalam pertandingan itu, kerajaan Pandai menggunakan bola yang terbuat dari
anyaman rotan sedangkan Munaseli terbuat dari emas, maka terjadilah percekcokan
yang berujung pada peperangan. Pemimpin kerajaan Pandai yang bernama Laha Begur
pergi ke segala tempat mencari bantuan.
Namun, tidak pernah berhasil mematahkan
kekuatan Kerajaan Munaseli. Akhirnya, ia berlayar ke Kedang untuk meminta
bantuan Lako Bori. Sebelum Laha Blegur datang Ke Honi’ero, Lako Bori terlebih
dahulu berlayar ke tanah Lepan Batan. Laha Blegur akhirnya berjumpa dengan Lako
Bori di Lepan Batan dan mengundang keduanya ke Pandai.
Pada malam pertama, Lako Bori melacak semua
identitas kerajaan Munaseli yang dipimpin oleh raja bernama Sirang Babu.
Diketahui bahwa Sirang Babu memiliki dua panglima perang yaitu Pito Para dan
Mau Para sekaligus ada anjing pelacak yang disebut Timu Rosa Mar Koli.
Diceritakan juga bahwa kedua panglima Kerajaan Munaseli tersebut adalah tukang
iris tuak yang letaknya cukup jauh dari pusat kerajaan.
Maka
pada malam itu juga Lako Bori membuat seremonial versi Kedang – Pati Lie Bayar Wangun - dan memerintahkan anggota kerajaan Pandai untuk
menyiapkan makanan kesukaan anjing pelacak itu yaitu jagung, Ikan,
kelapa dan biji labu yang semuanya harus diulek sampai halus, lalu diisi pada
sebuah tempat. Khusus untuk ikan, Lako sendirilah yang melepas pukat di laut dan menangkapnya. Lako mengambil sebuah tombak perang dan menikam tempat berisi
makanan itu, maka keluarlah darah merah segar yang memberi tanda kemenangan.
Keesokannya, Lako Bori membuat seremoni lagi dan menikam tombak ke arah laut
dan warna biru laut menjadi merah. Dari warna tersebut mereka yakin bahwa
kemenangan akan indah pada waktunya. Sebelum Lako Bori pergi ke wilayah
kerajaan Munaseli untuk berperang, mereka berpesan; jika mereka kembali ke
Pandai pada malam hari pertanda buruk yaitu kekalahan tetapi jika sampan mereka
berlabuh pada saat matahari terbit, maka semua penduduk pandai harus menari Lego-Lego untuk menjemput mereka karena
ada kemenangan di sana.
Maka Lako Bori dengan gagah berani pergi ke wilayah
Munaseli. Tiba di Munaseli, hari mulai malam dan mereka menyembunyikan sampan
di tengah rerimbunan bakau; kemudian berjalan secara hati-hati ke wilayah
kerajaan.
Di gerbang kerajaan, suasananya sangat ketat dan tentunya berbahaya,
maka Lako Bori menyemburkan makanan yang telah disiapkan itu di pinggir jalan
sampai ke wilayah dekat pohon tuak milik Pito Para-Mau Para. Lalu mereka
menggali lubang di sekitar pohon tersebut untuk bersembunyi ditutupi dengan
dedaunan agar tidak diketahui musuh.
Ketika
Pito para-mau Para hendak pergi mengiris tuak, dua ekor anjing pelacak itu
tidak mau mengikuti mereka karena sedang asyik menikmati makanan yang sudah
dihamburkan oleh Lako Bori. Namun, Pito para-Mau Para tetap berani pergi
mengiris tanpa anjing pelacak. Ada versi yang mengatakan bahwa dua ekor anjing
itu pun mati setelah melahap makanan yang disiapkan Lako Bori; barangkali
berisi racun. Sampai di tempat itu,
mereka meletakkan tombak mereka di bawah pohon tuak masing-masing dan mulai
memanjat pohon untuk mengiris.
Hasil irisan itu bukan dalam bentuk tuak putih
melainkan warna darah manusia yang pertanda bahwa akan ada perang besar, maka
mereka secepatnya turun dari pohon. Namun, ketika sampai di bawah pohon, Lako
Bori keluar dari tempat persembunyian itu dan mengambil masing-masing dua
tombak milik Pito para-Mau Para dan langsung menikam dua panglima itu dan
memenggal kepala mereka untuk kemudian dibawah ke hadapan Pemimpin Kerajaan
Pandai yaitu Laha Blegur.
Tiba di Pandai, Laha Blegur tidak merasa puas karena
kepala raja belum dipenggal, maka keesokannya Lako Bori bersama rombongan
kembali Ke Munaseli untuk menangkap
hidup-hidup sang raja karena dua panglima besarnya sudah tewas.
Namun, menurut
Bapak Zaid Bay, yang berhasil ditangkap yaitu Panglima Tale Wura, kakak dari
raja Sirang Babu. Bapak Zaid Bay
melanjutkan bahwa Tale Wura bukan diculik tetapi ia sendiri datang ke Pandai
untuk meminta perdamaian.
Hasilnya, ia dibunuh. Semua anggota kerajaan Pandai
secara bebas menyiksa Tale Wura dengan cara menikamnya tetapi tubuhnya kebal
oleh tikaman. Maka kemudian, Tale wura sendirilah – karena merasa badannya sakit – menyuruh saudari
kandungnya (yang katanya merupakan istri dari raja Pandai) untuk mengambil
keris miliknya dan menikamnya di ketiak; maka tewaslah Tale wura.
Bapak Leu Lele dan Eman Lengary di Noni' Desa Mahal 1, Kedang |
Kontroversi Kematian Sirang Babu
Ada
dua versi kontradiktif tentang kematian raja Munaseli yaitu sirang Babu. Pertama, menurut Bapak Zaid Bay, Sirang
babu dibunuh oleh patih Gaja Mada. Setelah kematian Pito Para-Mau Para dan Tale
wura, orang munaseli pergi ke tanah Jawa meminta bantuan dari kerajaan Majapahit,
dipimpin oleh Panggo Dosi. Mereka membawa serta dengan kura-kura emas atau Nilung Pisang Matang sebagai
hadiah untuk Gajah Mada.
Namun, sebelum berangkat, datanglah Beda Bara dari
Pandai dan menipu Panggo Dosi bahwa ia diancam untuk dibunuh oleh orang pandai,
maka ia pun turut serta dalam rombongan itu ke Majapahit. Tiba di Majapahit,
semua rombongan itu turun dari perahu untuk mengahadap raja Majapahit. Namun,
Beda Bara tetap di dalam Perahu bersama seorang perempuan dan ditugaskan untuk
menjaga kura-kura emas itu. Beda Bara kemudian membuang kura-kura emas tersebut
ke dalam laut. Hal ini tentunya merugikan panggo Dosi bersama rombongan. Mereka
meminta bantuan raja majapahit dan berjanji untuk memberikan upeti berupa
kura-kura emas.
Ketika raja majapahit meminta bukti kura-kura emas ternyata
benda pusaka tersebut sudah hilang tanpa diketahui penyebabnya. Artinya,
menurut raja majapahit, ia telah ditipu. Maka Panggo Dosi bersama rombongannya
pulang ke Munaseli dan berjanji jika majapahit datang membantu mereka, maka
kura-kura emas akan diberikan kepada raja majapahit.
Beberapa waktu kemudian,
patih Gajah Mada bersama rombongan datang ke wilayah Pulau Pantar dan
sekitarnya dengan tujuan untuk membantu Munaseli. Namun, di Munaseli, mereka
tidak mendapatkan upeti berupa Kura-kura emas itu, maka mereka pun berbalik
arah membantu kerajaan Pandai untuk membakar dan mengahancurkan Munaseli.
Menurut Zaid Bay, pada waktu penyerangan ini Lako Bori pun terlibat
bersama-sama. Pada akhirnya Raja Sirang Babu dibunuh oleh Gajah Mada.
Versi
kedua, Sirang Babu meninggal karena
stres melihat tsunami besar yang melanda tanah Munaseli. Ia membunuh dirinya
sendiri. Salah seorang saudaranya yaitu Kosang Bala melarikan diri ke Timor
Leste membawa serta dengan ayam ajaib atau Manu Siringkoko.
Terlepas
dari dua versi di atas; pertanyaan untuk kita ialah dimana jejak gajah Mada
setelah perang di Munaseli. Apakah ia kembali ke Jawa; ataukan meninggal di
sekitar kepuluan Alor dan solor sebab sempai saat ini letak kubur Gajah Mada
masih Kontroversial? Kemudian, apakah rombongan yang dipimpin oleh Gajah Mada
adalah leluhur orang lamalera sebab ada cerita yang mengatakan bahwa orang
lamalera datang dari Luwu bersama rombongan Gajah Mada?
Sayin Bayan Kedang dan pandai
Setelah
kerajaan pandai memetik kemenangan, mereka memutuskan untuk melakukan sayin bayan atau perjanjian adat yang bersifat mutlak antara orang Pandai
dan Kedang. sebelumnya mereka menawarkan tujuh orang putra-puri kepada Lako
Bori untuk menjadi hamba. Namun, Lako dan Bori menolak dengan alasan bahwa
manusia sangat berharga bukan dijadikan komoditas. Mereka juga menawarkan emas
dan berlian tetapi tetap ditolak.
Pada akhirnya, Lako Bori sendiri meminta
seekor sapi jantan sebagai hewan kurban pada ritual sayin bayan. Mereka
berpesta selama tuju hari di Pandai dan melakukan sayin bayan pertama di
sana. Kemudian Lako Bori berpisah dengan orang Pandai. Keduanya berlayar pulang
ke Kedang dengan tujuan ke Honi’ero tapi karena ombak dan anginlah yang memaksa
perahu mereka terdampar di wilayah pantai Wowon.
Ketika tiba di Pantai wowon,
keduanya berjumpa dengan tuan tanah setempat yaitu Uyu Nala’-Kata’ Rowa’ yang
turunannya pada suku orolaleng sekarang. Maka Lako Bori meminta bantuan Uyu Nala’-Kata’ Rowa’ untuk pergi mengundang utusan setiap kampung di seluruh
wilayah Kedang untuk datang ke Wowon. Lako Bori juga meminta Uyu Nala’-Kata’
Rowa’ untuk mengundang adik bungsu dari Lake Lele yaitu Todo Lele (suku odel
wala). Mereka kemudian melakukan Sayin
Bayan dengan isi perjanjiannya ialah,
“Orang
Pandai dan Kedang bisa saling mempersunting tanpa belis; barang-barang atau
harta benda seperti kelapa, pisang milik orang Pandai/sebaliknya bisa diambil
secara gratis oleh anak cucu Kedang maupun pandai. Jika dilanggar, yang
bersangkutan wajib membayar denda air buah pinang dan lontar masing-masing satu
tempayan. Jika tak mampu, yang bersangkutan akan dimakan habis oleh ulat-ulat.”
Setelah
itu mereka berpesta bersama. Lake Lele memerintahkan anak bungsu dari Todo Lele
yaitu Toda Todo untuk memenggal kepala sapi jantan tersebut. Ia menari keliling
sebanyak tiga kali sambil bersyair, Sa’
sa’ sele, Toda Ulu Lako Lele, dan memenggal kepala sapi itu pun langsung
putus.
Pada kesempatan ini, Lake Lele menceritakan kisah perjalanannya dari
Uyelewun-Larantuka-Atawatung sampai pada pertempuran di Munaseli kepada semua
yang hadir khususnya kepada Todo Lele dan anak-anaknya. Lako Bori kemudian berlayar
pulang ke arah Honi’ero. Namun, sampai saat ini jejak kubur Lako Bori belum
ditemukan.
Kepala
sapi dan kayu alas yang digunakan saat memotong daging disimpan di kampung lama
suku Odel wala. Sekarang tempat itu disebut Tapi.
Pantai wowon, Kedang |
Catatan penulis
Sejarah
lisan tentunya punya banyak versi. Oleh karena itu, penulis membutuhkan
informasi tambahan dari pembaca yang budiman. Salam.
Narasumber:
Stephanus Matur Odel, Leu lele Odel (Desa Mahal ),
Martinus Meang Odel (Desa Mahal 1, Kedang), Bapak Musa Leu Tuan (Kedang), Bapak
Zaid Bay (Penutur sejarah Munaseli di pantar), Mon Odel (Lewoleba)., Bapak Subang (Desa Munasely), Bapak Bahudin (Desa Pandai)